Rabu, 31 Maret 2021

ASFIKSIA NEONATORUM

ASFIKSIA NEONATORUM

 

A.    Pengertian

Asfiksia (berasal dari bahasa Yunani sphyzein yang artinya "denyut yang berhenti") merupakan kondisi kekurangan oksigen pada pernafasan yang bersifat mengancam jiwa. Keadaan ini bila dibiarkan dapat mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia yang disertai dengan metabolik asidosis. Asfiksia timbul karena adanya depresi dari susunan saraf pusat (CNS) yang menyebabkan gagalnya paru-paru untuk bernafas (Wikipedia,2013).

Asfiksia neonatorum merupakan keadaan dimana  bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke asidosis (Hidayat, 2008).

Asfiksia neonatorum adalah suatu kondisi yang terjadi ketika bayi tidak mendapatkan cukup oksigen selama proses kelahiran (Mendri & Sarwo prayogi, 2017).

 Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernapas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatnya CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Jumiarni, Mulyati, & Nurlina, 2016).

 

B.     Etiologi

Pengembangan paru-paru neonatus terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernapasan teratur, bila terjadi gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah kelahiran (Jumiarni et al., 2016). Penyebab kegagalan pernapasan pada bayi yang terdiri dari: faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor persalinan (Jumiarni et al., 2016).

Faktor Penyebab terjadinya Asfiksia

1.         Faktor Ibu

Ibu merupakan subjek yang berperan dalam persalinan, berbagai kondisi dan keadaan ibu akan banyak mempengaruhi bayi saat dilahirkan. Berikut beberapa situasi pada ibu yang dapat menimbulkan masalah pada bayi :

a.         Hipoksia ibu

Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anesthesia dalam gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan: (a) gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni  akibat penyakit atau obat, (b) hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.

b.         Preeklamsia dan eklamsia.

Preeklamsia dan eklamsia mengakibatkan gangguan aliran darah pada tubuh seperti contohnya ibu mengalami anemia berat sehingga aliran darah pada uterus berkurang akan menyebabkan berkurangnya pengaliran darah yang membawa oksigen ke plasenta dan janin.

c.         Perdarahan abnormal (plasenta prervia atau solutio plasenta).

Hal ini menyebabkan gangguan pertukaran gas antara oksigen dan zat asam arang sehingga turunnya tekanan secara mendadak. Karena bayi kelebihan zat asam arang maka bayi akan kesulitan dalm bernafas

d.         Partus lama atau partus macet.

Partus lama dan partus karena tindakan dapat berpengaruh terhadap gangguan paru-paru karena gangguan aliran darah uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin

e.         Demam selama persalinan.

Demam ini bisa diakibatkan karena infeksi yang terjadi selama proses persalinan. Infeksi yang yang terjadi tidak hanya bersifat lokal tetapi juga sistemik. Artinya kuman masuk peredaran darah ibu dan mengganggu metabolisme tubuh ibu secara umum. Sehingga terjadi gangguan aliran darah yang menyebabkan terganggunya pasokan oksigen dari ibu ke janin.

f.          Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV).

Akibat infeksi berat, penghancuran atau  pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari pembuatan sel darah merah tersebut sehingga apabila  ibu mengalami perdarahan saat persalinan maka akan terjadi anemia pada ibu yang menyebabkan ibu kekurangan sel darah merah yang membawa oksigen untuk janin yang menyebabkan asfiksia.

g.         Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.

Pertambahan umur akan diikuti oleh perubahan organ dalam rongga pelvis. Keadaan ini akan mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Pada usia ibu yang seperti ini akan beresiko mengakibatkan gawat janin , ini terjadi karena rahim ibu tidak siap diisi janin. Gawat janin ini seperti asfiksia pada bayi. Usia perempuan untuk hamil dan melahirkan memiliki pengaruh yang berbeda pada kesehatan ibu dan janinnya. Kehamilan dan persalinan di bawah umur 20 tahun memiliki resiko yang sama tingginya dengan kehamilan umur 35 tahun keatas sehingga dapat menimbulkan resiko. Usia berkaitan dengan masalah kesehatan, resiko akan meningkat sejalan dengan usia. Persalinan pada ibu usia tua dapat menimbulkan kecemasan yang mengakibatkan persalinan yang lebih sulit dan lama (Kasdu, 2005 dan Curtis, 2000).

h.         Gravida empat atau lebih,

Untuk kehamilan keempat atau lebih ini merupakan kehamilan yang rawan. Sehingga besar kemungkinan terjadi sesuatu yang buruk pada janin. Yang juga menyebabkan gawat janin  karena gangguan sirkulasi darah sehingga pasokan oksigen ke janin berkurang yang kemudian terjadi gawat janin sehingga janin mengalami asfiksia.

 

2.         Faktor Tali pusat

Kompresi umbilicus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilicus dan menghambat pertukaran gas antar ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat.

1)      Lilitan tali pusat. Menyebabkan gangguan aliran darah pada tali pusat. Yang kita ketahui bahwa darah dalam tubuh membawa oksigen untuk diedarkan ke seluruh tubuh.

2)      Tali pusat pendek. Tali pusat pendek akan menyebabkan  terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.

3)      Simpul tali pusat. Karena tekanan tali pusat yang kuat menyebabkan pernafasan pada janin terhambat

4)      Prematur adalah keadaan bayi lahir hidup sebelum usia kehamilan minggu ke 37 (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Bayi yang lahir kurang bulan memiliki organ dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Prognosis bayi prematur terganutng dari berat ringannya masalah perinatal, misalnya masa gestasi (makin muda mas gestasi maka makin tinggi angka kematian. Terutama disebabkan oleh seringnya dijumpai kelainan komplikasi seperti asfiksia, pneumonia, perdarahan intra kranial, dan hipoglikemia (Saifuddin, 2002).

5)      Gangguan tali pusat, kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah tersebut dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin (Saifuddin, 2002).

 

3.         Faktor neonates

a.         Bayi Prematur (Sebelum 37 minggu kehamilan)

Prematur adalah keadaan bayi lahir hidup sebelum usia kehamilan minggu ke 37 (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Bayi yang lahir kurang bulan memiliki organ dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Prognosis bayi prematur terganutng dari berat ringannya masalah perinatal, misalnya masa gestasi (makin muda mas gestasi maka makin tinggi angka kematian. Terutama disebabkan oleh seringnya dijumpai kelainan komplikasi seperti asfiksia, pneumonia, perdarahan intra kranial, dan hipoglikemia (Saifuddin, 2002).

b.         Kelainan kongenital.

Cacat bawaan dalam kandungan akan mengakibatkan asfiksia bayi karena dengan adanya cacat bawaan ini akan menimbulkan gangguan pertumbuhan janin seperti organ janin sehingga organ paru janin akan berfungsi abnormal.

c.         Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).

Bila janin kekurangan oksigen dan kadar karbondioksida bertambah timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga denyut jantung janin menjadi lambat. Jika ini terus berlanjut maka timbullah rangsangan dari nervus simpatikus sehingga denyut jantung janin menjadi lebih cepat akhirnya  janin akan mengadakan pernafasan intrauterin sehingga banyak mekonium dalm air ketuban pada paru yang mengakibatkan denyut jantung janin menurun dan bayi tidak menunjukkan upaya pernafasan secara spontan.

4.         Faktor persalinan

Menurut Saifuddin (2002), persalinan normal adalah poses pengeluaan janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin. Faktor persalinan yang dimaksud adalah meliputi partus lama, persalinan dengan tindakan/buatan.

a.         Partus lama menurut Mochtar (2004), yaitu persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih dari 18 jam pada multipara. Persalinan pada primi biasanya lebih lama 5-6 jam daripada multi. Insiden partus lama menurut penelitian berkisar 2,8% sampai 4,9%. Bila persalinan lama, dapat menimbulkan komplikasi baik terhadap ibu maupun bayi, dan dapat meningkatkan angka kematian ibu dan bayi.

b.         Persalinan buatan yakni persalinan dengan rangsangan/bantuan tenaga dari luar sehingga terdapat kekuatan untuk persalinan. Misalnya forcep/vakum/SC (Joseph & Nugraha, 2010). Menurut Hamilton (1995), forcep digunakan untuk mempercepat persalinan ketika hidup ibu atau janin terancam, untuk mempersingkat persalinan kala II. Persalinan dengan forcep menyebabkan adanya tekanan pada kepala yang bisa menekan pusat-pusat vital pada medula oblongata dan hal tersebut dapat menyebabkan asfiksia. Persalinan cesarea adalah kelahiran bayi melalui abdomen dan insisi uterus. Persalinan cesarea dipilih karena indikasi distres janin, posisi sungsang, distosia, dan persalinan cesarea sebelumnya. Tindakan cesarea bisa dilakukan pada kejadian plasenta previa, solution plasenta, gawat janin, letak lintang. Yang mana hal tersebut berpengaruh terhadap pernapasan bayi (Saifuddin, 2002). Persalinan buatan juga bisa dengan induksi yakni tindakan/langkah untuk memulai persalinan yang sebelumnya belum terjadi. Metode yang digunakan ialah amniotomi, infus oxytocin, dan pemberian prostaglandin. Pemberian prostaglandin akan menimbulkan kontraksi otot rahim yang berlebihan yang mana dapat mengganggu sirkulasi darah sehingga menimbulkan asfiksia janin (Hamilton,1995).

 

C.    Patofisiologi

Asfiksia Pembuluh darah arteriol yang ada di paru-paru bayi masih dalam keadaan kontriksi dan hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paruparu sehingga darah dialirkan melalui duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta namun suplai oksigen melalui plasenta ini terputus ketika bayi memasuki kehidupan ekstrauteri (Masruroh, 2016). Hilangnya suplai oksigen melalui plasenta pada masa ekstrauteri menyebabkan fungsi paru neonatus diaktifkan dan terjadi perubahan pada alveolus yang awalnya berisi cairan kemudian digantikan oleh oksigen (Behrman et al., 2000). Proses penggantian cairan tersebut terjadi akibat adanya kompresi dada (toraks) bayi pada saat persalinan kala II dimana saat pengeluaran kepala, menyebabkan badan khususnya dada (toraks) berada dijalan lahir sehingga terjadi kompresi dan cairan yang terdapat dalam paru dikeluarkan (Manuaba, Manuaba, & Manuaba, 2007).

Setelah toraks lahir terjadi mekanisme balik yang menyebabkan terjadinya inspirasi pasif paru karena bebasnya toraks dari jalan lahir, sehingga menimbulkan perluasan permukaan paru yang cukup untuk membuka alveoli (Manuaba et al., 2007). Besarnya tekanan cairan pada dinding alveoli membuat pernapasan yang terjadi segera setelah alveoli terbuka relatif lemah, namun karena inspirasi pertama neonatus normal sangat kuat sehingga mampu menimbulkan tekanan yang lebih besar ke dalam intrapleura sehingga semua cairan alveoli dapat dikeluarkan (Hall & Guyton, 2014). Selain itu, pernapasan pertama bayi timbul karena ada rangsangan-rangsangan seperti penurunan PO2 dan pH, serta peningkatan PCO2 akibat adanya gangguan pada sirkulasi plasenta, redistribusi curah jantung sesudah talipusat diklem, penurunan suhu tubuh dan berbagai rangsangan taktil (Behrman et al., 2000).

Namun apabila terjadi gangguan pada proses transisi ini, dimana bayi tidak berhasil melakukan pernapasan pertamanya maka arteriol akan tetap dalam vasokontriksi dan alveoli akan tetap terisi cairan. Keadaan dimana bayi baru lahir mengalami kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah dilahirkan disebut dengan asfiksia neonatorum (Fida & Maya, 2012). Menurut Price & Wilson (2006) gagal napas terjadi apabila paru tidak dapat memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan pembuangan karbon dioksida (Price & Wilson, 2006). Proses pertukaran gas terganggu apabila terjadi masalah pada difusi gas pada alveoli. Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen dengan kapiler paru dan CO2 kapiler dengan alveoli (Hidayat, 2008). Proses difusi gas pada alveoli dipengaruhi oleh luas permukaan paru, tebal membran respirasi/permeabelitas membran, perbedaan tekanan dan konsentrasi oksigen dan afinitas gas (Hidayat, 2008).

 

D.    Manifestasi Klinis

Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan (Sembiring, 2017).

Penilaian APGAR

A : Apprearance          = rupa (warna kulit)

P : Pulse                      = nadi

G : Grimace     = menyeringai (akibat refleks kateter dalam hidung)

A : Activity                 = keaktifan

R :Respiration             = pernapasan

Tabel Skor APGAR

NILAI

0

1

2

Nafas

Tidak ada

Tidak teratur

Teratur

Denyut jantung

Tidak ada

<100

>100

Warna Kulit

Biru/Pucat

Tubuh kemerahan & ekstremitas biru

Tubuh dan ekstremitas kemerahan

Gerakan/Tonus Otot

Lumpuh

Ekstremitas agak fleksi

Gerakan aktif

Refleks

Tidak ada

Lemah/lambat

Menangis Kuat

 

Klasifikasi Asfiksia Menurut APGAR

1.      Asfiksia Berat (Nilai APGAR 0-3)

Resusitasi aktif dalam keadaan ini harus segera dilakukan. Langkah utama ialah memperbaiki ventilasi paru-paru dengan memberikan O2 secara tekanan langsung dan berulang-ulang. Bila setelah beberapa waktu pernapasan spontan tidak timbul dan frekuensi jantung menurun maka pemberian obat-obat lain serta massase jantung sebaiknya segera dilakukan.

2.      Asfiksia ringan-sedang (Nilai APGAR 4-6)

Pernapasan aktif yang sederhana dapat dilakukan secara pernapasan kodok (frog breathing). Cara ini dikerjakan dengan melakukan pipa ke dalam jantung dan O2 dialirkan dengan kecepatan 1-2 liter dalam 1 menit. Agar saluran napas bebas, bayi diletakkan dengan kepala dorsofleksi.

Pada pernapasan dari mulut ke mulut, mulut penolong diisi terlebih dahulu dengan O2 sebelum pernapasan. Peniupan dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20-30 kali semenit dan diperhatikan gerakan pernapasan yang mungkin timbul. Jika terjadi penurunan frekuensi jantung dan tonus otot maka bayi dikatakan sebagai penderita asfiksia berat.

Tujuan melakukan tindakan terhadap bayi asfiksia adalah melancarkan kelangsungan pernafasan bayi yang menimbulkan sebagian besar terjadi pada waktu persalinan.

3.      Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9

4.      Bayi normal dengan nilai APGAR 10

 

Asfiksia dimulai dengan suatu periode Apneu

Seorang bayi mengalami kekurangan oksigen,maka akan terjadi napas cepat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan napas akan berhenti, denyut jantung mulai menurun dan tonus otot berkurang secara berangsur, dan bayi memasuki periode apneu primer. Apneu primer yaitu bayi mengalami kekurangan oksigen dan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode singkat, dimana terjadi penurunan frekuensi jantung. Pemberian rangsangan dan oksigen selama periode ini dapat merangsang terjadinya pernapasan. Selanjutnya, bayi akan memperlihatkan usaha bernapas (gasping) yang kemudian diikuti oleh pernapasan teratur (Sutaryo, magetsari, mulyono, kurnianda, 2000).

Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukan pernapasan gasping (megap-megap), denyut jantung menurun, tekanan darah menurun, dan bayi tampak lemas (flaksid). Pernapasan semakin lemah sampai akhirnya berhenti, dan bayi memasuki periode apneu sekunder. Apneu sekunder yakni pada penderita asfiksia berat, yang mana usaha bernapasnya tidak tampak dan selanjutnya bayi berada pada periode apneu kedua. Pada keadaan tersebut akan ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah serta penurunan kadar oksigen dalam darah. Bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukan upaya bernapas secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali bila resusitasi dengan napas buatan dan pemberian oksigen segera dimulai. Sulit sekali membedakan antara apneu primer dan sekunder, oleh karenanya bila menghadapi bayi lahir dengan apneu, anggaplah sebagai apneu sekunder dan bersegera melakukan tindakan resusitasi (Novita, 2011).

 

 Perubahan Patofisiologis dan Gambaran Klinis

Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak bernapas secara spontan dan teratur. Sering sekali bayi mengalami gawat janin sebelum persalinan akan mengalami asfiksia setelah persalinan. Masalah tersebut mungkin berkaitan erat dengan kondisi ibu, masalah pada tali pusat dan plasenta atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan. Apabila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, maka timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga bunyi jantung janin menjadi lambat (Depkes RI, 2005).

Kekurangan O2 akan merangsang usus sehingga mekonium keluar sebagai tanda janin dalam asfiksia. Secara klinis tanda-tanda asfiksia adalah denyut jantung janin yang lebih cepat dari 160x/menit atau kurang dari 100x/menit, halus dan irreguler, serta adanya pengeluaran mekonium. Jika DJJ normal dan terdapat mekonium, maka janin mulai asfiksia. Jika DJJ lebih dari 160x/menit dan ada mekonium maka janin sedang asfiksia. Jika DJJ kurang dari 100x/menit dan ada meconium maka janin dalam keadaan gawat (Mochtar, 1998).

Pernafasan spontan bayi baru lahir bergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara pada bayi (asfiksia transient). Proses ini dianggap sangat perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi “primary gasping” yang kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya. Pada bayi yang mengalami asfiksia berat, akan terjadi apnu kedua (secondary apnoea).

Di samping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas mungkin hanya menimbul¬kan asidosis respiratorik. Bila gangguan berlanjut, dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga sumber glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan ber¬kurang. Asam organik yang terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan timbulnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan di antaranya:

a)      Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung,

b)      Terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan me¬nurunnya sel jaringan, termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung,

c)      Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan demikian pula ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan.

Acidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi se¬lanjutnya.

 

E.     Gejala klinis

Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara barangsur-angsur dan memasuki periode apnue primer. Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat.

Gejala lanjut pada asfiksia :

1.                  Pernafasan megap-magap dalam

2.                  Denyut jantung terus menurun

3.                  Bayi terlihat lemas (flaccid)

4.                  Terjadinya perubahan sistem kardiovaskular

5.                  Pernafasan terganggu

6.                  Detak jantung berkurang

7.                  Reflek / respon bayi melemah

8.                  Tonus otot menurun

9.                  Warna kulit biru atau pucat

 

F.      Komplikasi Pasca Hipoksia

Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :

a.         Edema otak & Perdarahan otak

Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.

b.         Anuria atau oliguria

Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal  istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit dan terjadilah asfiksia pada neonatus..

c.         Kejang

Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.

d.         Koma

Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak. Koma terjadi karena gangguan pengaliran darah menuju otak sehingga otak tidak mendapatkan asupan oksigen untuk melakukan metabolisme.      

 

G.    Diagnosis Asfiksia

Diagnosis Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari hipoksia janin. Diagnosis hipoksia dapat dibuat ketika dalam persalinan yakni saat ditemukanna tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian (Saifuddin, 2002) :

a.         Denyut jantung janin

Frekuensi normal denyut jantung janin adalah antara 120 sampai 160x/menit. Selama his frekuensi tersebut bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, namun apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 per menit di luar his dan terlebih jika tidak teratur, hal tersebut merupakan tanda bahaya.

b.         Pemeriksaan pH darah janin

Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia.

c.         Mekonium dalam air ketuban

Pada presentasi kepala mungkin menunjukan gangguan oksigenasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karena itu perlu diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut jika terdapat asfiksia. Tingkatannya perlu diketahui untuk melakukan tindakan resusitasi yang sempurna. Hal tersebut diketahui dengan penilaian menurut APGAR.

 

H.    Pemeriksaan Penunjang

1.      Laboratorium

o   Biasanya ditemukan menurunya kadar hematokrit dan peninggian trombosit akibat hiperaktivitas sumsum tulang.

o   Untuk menunjukan adanyan cairan spinal yang bercampur darah atau xantokrom disertai dengan peninggian jumlah sel darah merah dan protein, serta penurunan glukosa.

2.      USG

Untuk memantau berbagai perubahan yang terjadi akibat perdarahan.

3.      Manajemen Asfiksia Neonatorum

Manajemen Asfiksia pada BBL meliputi : Persiapan Resusitasi, Keputusan Perlunya Resusitasi, Tindakan Resusitasi, Asuhan pasca Resusitasi, Asuhan tindak lanjut pasca Resusitasi dan Pencegahan infeksi.

 

 

I.       Dampak Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir

1.      Otak : Ensepalo hipoksis iskemik (EHI) / kerusakan otak karena kekurangan kadar oksigen dan penimbunan karbondioksida sehingga otak tidak dapat melakukan metabolisme untuk sel dan jaringan pada tubuh bayi.

2.      Ginjal : Gagal ginjal akut karena tidak terjadi metabolisme dalam tubuh sehingga fungsi ginjal menjadi abnormal. Perinatal hipoksemia menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat vasokonstriksi renal dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Selain itu juga terjadi aktivitasi sistem renin angiotensin-aldosteron dan sistem adenosin intrarenal yang menstimulasi pelepasan katekolamin dan vasopresin. Semua faktor ini akan mengganggu hemodinamik glomeruler.

3.      Jantung : Gagal jantung akibat gangguan  aliran darah sehingga jantung tidak dapat memompa darah ke seluruh tubuh . Disfungsi miokard dan penurunan kontraktilitas, syok kardiogenik, gagal jantung. Bayi dengan hipotensi dan curah jantung yang rendah akan mengalami gangguan autoregulasi otak sehingga risiko kerusakan otak karena hipoksi-iskemi meningkat.

4.      Saluran cerna : EKN = Entero kolitis Nekrotikans/ NEC= Nekrotizing entero. hal ini disebabkan proliferasi bakteri ke dalam mukosa usus yang mengalami asfiksia dan iskemia

5.      paru : faktor penyebab keluarnya mekonium adalah stress intrauterin seperti hipoksia, asfiksia, dan asidosis. Asfiksia meyebabkan peningkatan peristaltic gastrointestinal dan relaksasi tonus otot spinkter ani, sehingga terjadi pengeluaran mekonium. Apabila fetus mengalami gasping intrauterine, maka terjadilah aspirasi mekonium.

 

J.      Pencegahan dan penanganan asfiksia neonatorum

Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan, persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan berupa :

a.       Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan untuk mendeteksi secaradini kelainan pada ibu hamil dan janin dan ibu mendapat rujukan ke rumah sakit secara segera.

b.      Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap pada kehamilan yang diduga berisiko bayinya lahir dengan asfiksia neonatorum untuk penangan segera agra tidak terjadi kematian ibu dan bayi.

c.       Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu.

d.      Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan deteksi dini terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan dengan kardiotokografi untuk mengontrol pernafasan bayi.

e.       Meningkatkan ketrampilan tenaga obstetri dalam penanganan asfiksia neonatorum di masing-masing tingkat pelayanan kesehatan.

f.       Meningkatkan kerjasama tenaga obstetri dalam pemantauan dan penanganan persalinan.

g.      Melakukan Perawatan Neonatal Esensial untuk meminimalisir resiko saat persalinan berlangsung  yang terdiri dari :

1)      Persalinan yang bersih dan aman

2)      Stabilisasi suhu

3)      Inisiasi pernapasan spontan

4)      Inisiasi menyusu dini

5)      Pencegahan infeksi serta  pemberian imunisasi

 

K.    Gangguan pertukaran gas pada asfiksia neonatorum

A. Pengertian

Kelebihan atau defisit oksigenasi dan atau eleminasi karbondioksida pada membran alveolar-kapiler (Herdman & Kamitsuru, 2015). Gangguan pertukaran gas merupakan suatu kondisi dimana terjadinya kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan/atau eleminasi karbondioksida pada membran alveolus-kapiler (PPNI, 2017). Terjadinya gangguan pertukaran gas ini menunjukkan penurunan kapasitas difusi, yang antara lain disebabkan oleh menurunnya luas permukaan difusi, menebalnya membran alveolar kapiler, rasio ventilasi perfusi tidak baik (Mubarak, Indrawati, & Susanto, 2015).

B. Patofisiologi gangguan pertukaran gas

Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana bayi baru lahir mengalami gangguan tidak segera bernapas secara spontan dan teratur setelah lahir yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti persalinan lama, adanya lilitan tali pusat, dan presentasi janin abnormal (Nurarif & Kusuma, 2015). Kegagalan bayi bernapas secara spontan ini menyebabkan cairan yang mengisi alveoli gagal dikeluarkan dari alveoli (Masruroh, 2016). Cairan ini menyebabkan paru-paru menjadi kaku dan resisten terhadap ekspansi sehingga komplians paru atau kemampuan jaringan paru-paru untuk mengembang atau meregang menjadi terganggu sehingga mengganggu proses perfusi ventilasi (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010). Karena adanya tahanan paru-paru untuk mengembang maka kadar oksigen yang masuk ke paru-paru juga akan berkurang sedangkan pada bayi baru lahir memerlukan oksigen yang cukup untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk metabolisme ((Masruroh, 2016) : (Nurarif & Kusuma, 2015)). Penurunan kadar oksigen dalam proses metabolisme ini menyebabkan terjadinya proses glikolisis anerobik sehingga menimbulkan produk sampingan berupa asam laktat dan piruvat sehingga terjadi peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH darah sehingga terjadi asidosis respiratorik (Masruroh, 2016). Tubuh berusaha mengompensasi keadaan asidosis ini dengan cara meningkatkan ventilasi untuk menurunkan jumlah karbondioksida selain itu hemoglobin juga tidak membebaskan oksigen ke jaringan dengan mudah sehingga terjadi hipoksia jaringan (Potter & Perry, 2005). Adanya hipoksia jaringan, hiperventilasi, serta terjadinya asidosis repiratorik merupakan akibat dari terganggunya pertukaran gas pada bayi baru lahir.

 

C. Manifestasi Klinis

Menurut (PPNI, 2017) data mayor untuk masalah gangguan pertukaran gas yaitu :

a.       Dispnea

Dispnea sering disebut sesak napas, napas pendek, breathlessness atau shortness of breath (Djojodibroto, 2009). Menurut Djojodibroto (2009) dispnea adalah gejala subyektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan. Karena sifatnya subyektif, dispnea tidak dapat diukur (namun terdapat gradasi sesak napas). Meskipun sifatnya subyektif, dispnea dapat ditentukan dengan melihat adanya upaya bernapas aktif dan upaya menghirup udara lebih banyak (Djojodibroto, 2009). Dispnea sebagai peningkatan upaya bernapas dapat ditemui pada berbagai kondisi klinis penyakit pulmonal dan jantung. Dispnea yang berkaitan dengan penyakit pernapasan terjadi akibat perubahan patologi yang meningkatkan tekanan jalan napas, penurunan komplians pulmonal, perubahan sistem vaskular pulmonal atau melemahnya otot-otot pernapasan (Asih & Effendy, 2004). Dispnea mengacu pada ventilasi yang lebih besar dari jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan eliminasi normal karbondioksida, dispnea diidentifikasi dengan mengamati tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) (Asih & Effendy, 2004).

b.      PaCO2 meningkat/menurun

Tekanan yang dikeluarkan oleh karbondioksida yang terlarut di dalam plasma darah arteri (Kozier et al., 2010). PaCO2 menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme normal PaCO2 sepenuhnya dipengaruhi oleh ventilasi. Pada kondisi gangguan metabolisme PaCO2 dapat menjadi tidak normal karena sebagai kompensasi keadaan metabolic. Nilai normal PaCO2 adalah 35-45 mmHg, nilai PaCO2 (>45 mmHg) disebut dengan hipoventilasi, nilai PaCO2 (<35 mmHg ) disebut dengan hiperventilasi (Bararah & Jauhar, 2013)

c.       PaO2 menurun

PaO2 adalah tekanan yang dikeluarkan oleh oksigen yang terlarut di dalam plasma darah arteri (Kozier et al., 2010). Kadar PaO2 yang rendah menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak mampu bernafas secara adekuat. PaO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya mendapatkan terapi oksigen tambahan. Kadar normal PaO2 dalam darah adalah 80-100 mmHg. Kadar PaO2 60-80 mmHg disebut dengan hipoksemia ringan. Kadar PaO2 40-60 mmHg disebut dengan hipoksemia sedang dan kadar PaO2 60-80 mmHg disebut dengan hipoksemia ringan. Kadar PaO2 40-60 mmHg disebut dengan hipoksemia sedang dan kadar PaO2 (<40 mmHg) disebut dengan hipoksemia berat (Bararah & Jauhar, 2013).

d.      Takikardia

Takikardia adalah suatu kondisi dimana kecepatan denyut jantung lebih cepat dari jantung orang normal dalam kondisi beristirahat. Detak jantung dikontrol oleh sinyal listrik yang berasal dari area kecil yang disebut nodus atrioventrikuler yang berada diantara ruang atas dan bawah jantung. Takikardi terjadi ketika sinyal elektrik tersebut terganggu. Faktor yang mempengaruhi terganggunya sinyal listruk tersebut diantaranya dimana kelenjar tiroid menjadi overaktif sehingga menghasilkan banyak hormone tiroksin. Penyebab lainnya adalah merokok, minum minuman keras, jaringan jantung yang telah rusak karena adanya penyakit jantung, latihan fisik berat, tekanan darah tinggi, anemia, kelainan jantung elektrik bawaan serta stress yang sifatnya mendadak.

 

e.       pH arteri meningkat/menurun

pH adalah ukuran asiditas atau alkalitas relatif darah (Kozier et al., 2010). Jika nilai pH darah menurun disebut asidemia yaitu keadaan kelebihan asam di dalam darah. Jika nilai pH darah meningkat disebut alkalemia yaitu kekurangan asam di dalam darah. Asidemia maupun alkalemia dapat bersifat respiratorik maupun metabolic. Adanya mekanisme metabolic mengupayakan adanya suatu kompensasi, baik terhadap suasana asidema maupun dalam keadaan alkalemia agar pH darah tetap dalam rentang normal yaitu 7,4 mmHg. Jika terjadi perubahan asam basa darah namun suasana telah terkompensasi sehingga pH mendekati nilai 7,4 mmHg, keadaan ini sudah tidak digolongkan kedalam asidemia dan alkalemia tetapi asidosis yaitu asidemia yang sudah terkompensasi dan alkalosis yaitu alkalemia yang sudah terkompensasi. Kadar pH normal 7,35-7,45 mmHg. Kadar pH < 7,35 disebut asidosis dan kadar pH >7,45 disebut alkalosis

 

f.       Bunyi napas tambahan

g.      Menurut (Djojodibroto, 2014), Bunyi nafas bronkial dan vesikuler adalah suara nafas normal, terdapat bunyi nafas lain yang disebut suara nafas tambahan (adventitious sounds atau added sounds). Bunyi napas lain hanya didapatkan dalam suatu keadaan yang tidak normal. Bunyi nafas tambahan disebut juga bunyi nafas tidak normal (abnormal breath sounds). Suara ini disebabkan karena adanya sumbatan jalan napas atau obstruksi. Menurut lamanya bunyi, bunyi nafas tambahan dibedakan menjadi bunyi yang terdengar kontinu dengan bunyi yang terdengar tidak kontinu. Bunyi napas tambahan dibedakan menjadi lima bunyi yaitu:

a). Stridor

Stridor adalah bunyi yang terdengar kontinu (tidak terputus-putus), bunyi ini bernada tinggi baik saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi, bunyi ini dapat terdengar tanpa menggunakan stetoskop, bunyi ini ditemukan pada saluran napas atas (laring) atau trakea, dapat disebakan karena adanya penyempitan saluran napas.Pada orang dewasa keadaan ini mengarah pada dugaan terjadinya edema laring, kelumpuhan pita suara, tumor laring, stenosis laring yang biasanya disebabkan oleh tindakan trakeostomi atau juga dapat disebakan oleh pipa endotrakeal.

 

b).Ronkhi basah Ronkhi basah adalah bunyi yang terdengar kontinu.Bunyi napas tambahan ronkhi bernada rendah sehingga bersifat sonor, terdengar tidak mengenakkan (raspy). Bunyi napas tambahan ronki terjadi pada saluran napas besar seperti trakea bagian bawah dan bronkus utama. Bunyi napas ini disebabkan karena udara melewati penyempitan, dapat terjadi saat inspirasi maupun ekspirasi.

c). Suara mengi (wheezing) Mengi adalah bunyi terdengar kontinu, nada mengi lebih tinggi dibandingkan bunyi nafas lain. Sifatnya musical, bunyi napas mengi disebabkan karena adanya suatu penyempitan saluran napas kecil (bronkus perifer dan bronkiolus). Karena udara melewati suatu penyempitan, mengi dapat terjadi baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi. Terjadinya penyempitan jalan nafas dapat disebabkan karena adanya sekresi berlebihan, edema mukosa, konstriksi otot polos, tumor maupun karena adanya benda asing.

d).Ronkhi kering (rales/crackles) Bunyi napas ronkhi kering terdengar diskontinu atau terputus-putus. Bunyi ini disebabkan karena adanya cairan di dalam saluran napas dan kolapsnya saluran udara di bagian distal dan alveoli. Terdapat tiga macam ronkhi kering diantaranya halus(fine rales), sedang (medium rales), dan kasar (coarse rales).

e).Bising gesek pleura ( Pleural friction rubs ). Bising gesek pleura dihasilkan oleh bunyi gesekan permukaan antara pleura perietalis dan pleura viseralis. Bunyi gesekan ini terjadi karena kedua permukaan kasar.Permukaan pleura kasar disebabkan oleh eksudat fibrin. Suara gesekan terdengar keras pada saat akhir inspirasi, tetapi sebenarnya bising gesek pleura terdengar saat inspirasi dan saat ekspirasi. Bisisng gesek pleura terdengar pada saat bernafas dalam. Gesekan pleura sering terdengar pada dinding dada lateral bawah dan anterior. Gesekan pleura yang kuat juga dapat dirasakan pada saat palpasi dan terasa sebagai vibrasi.

 

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar