ASFIKSIA
NEONATORUM
A.
Pengertian
Asfiksia (berasal dari bahasa Yunani
sphyzein yang artinya "denyut yang berhenti") merupakan kondisi
kekurangan oksigen pada pernafasan yang bersifat mengancam jiwa. Keadaan ini
bila dibiarkan dapat mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia yang disertai
dengan metabolik asidosis. Asfiksia timbul karena adanya depresi dari susunan
saraf pusat (CNS) yang menyebabkan gagalnya paru-paru untuk bernafas (Wikipedia,2013).
Asfiksia neonatorum merupakan keadaan
dimana bayi tidak bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut dapat
disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke asidosis (Hidayat,
2008).
Asfiksia neonatorum adalah suatu kondisi
yang terjadi ketika bayi tidak mendapatkan cukup oksigen selama proses
kelahiran (Mendri & Sarwo prayogi, 2017).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang
tidak dapat bernapas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin
meningkatnya CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut
(Jumiarni, Mulyati, & Nurlina, 2016).
B.
Etiologi
Pengembangan paru-paru neonatus terjadi
pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernapasan
teratur, bila terjadi gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari
ibu ke janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat
timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah kelahiran (Jumiarni
et al., 2016). Penyebab kegagalan pernapasan pada bayi yang terdiri dari:
faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor persalinan (Jumiarni et
al., 2016).
Faktor Penyebab terjadinya Asfiksia
1. Faktor
Ibu
Ibu merupakan subjek yang berperan dalam
persalinan, berbagai kondisi dan keadaan ibu akan banyak mempengaruhi bayi saat
dilahirkan. Berikut beberapa situasi pada ibu yang dapat menimbulkan masalah
pada bayi :
a. Hipoksia
ibu
Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin
dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi
akibat pemberian obat analgetika atau anesthesia dalam gangguan aliran darah
uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya
pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering
ditemukan pada keadaan: (a) gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni,
hipotoni akibat penyakit atau obat, (b)
hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) hipertensi pada penyakit
eklampsia dan lain-lain.
b. Preeklamsia
dan eklamsia.
Preeklamsia dan eklamsia mengakibatkan
gangguan aliran darah pada tubuh seperti contohnya ibu mengalami anemia berat
sehingga aliran darah pada uterus berkurang akan menyebabkan berkurangnya
pengaliran darah yang membawa oksigen ke plasenta dan janin.
c. Perdarahan
abnormal (plasenta prervia atau solutio plasenta).
Hal ini menyebabkan gangguan pertukaran
gas antara oksigen dan zat asam arang sehingga turunnya tekanan secara
mendadak. Karena bayi kelebihan zat asam arang maka bayi akan kesulitan dalm
bernafas
d. Partus
lama atau partus macet.
Partus lama dan partus karena tindakan
dapat berpengaruh terhadap gangguan paru-paru karena gangguan aliran darah
uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya
aliran oksigen ke plasenta dan janin
e. Demam
selama persalinan.
Demam ini bisa diakibatkan karena
infeksi yang terjadi selama proses persalinan. Infeksi yang yang terjadi tidak
hanya bersifat lokal tetapi juga sistemik. Artinya kuman masuk peredaran darah
ibu dan mengganggu metabolisme tubuh ibu secara umum. Sehingga terjadi gangguan
aliran darah yang menyebabkan terganggunya pasokan oksigen dari ibu ke janin.
f. Infeksi
berat (malaria, sifilis, TBC, HIV).
Akibat infeksi berat, penghancuran
atau pemecahan sel darah merah yang
lebih cepat dari pembuatan sel darah merah tersebut sehingga apabila ibu mengalami perdarahan saat persalinan maka
akan terjadi anemia pada ibu yang menyebabkan ibu kekurangan sel darah merah yang
membawa oksigen untuk janin yang menyebabkan asfiksia.
g. Usia
ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
Pertambahan umur akan diikuti oleh
perubahan organ dalam rongga pelvis. Keadaan ini akan mempengaruhi kehidupan
janin dalam rahim. Pada usia ibu yang seperti ini akan beresiko mengakibatkan
gawat janin , ini terjadi karena rahim ibu tidak siap diisi janin. Gawat janin
ini seperti asfiksia pada bayi. Usia perempuan untuk hamil dan melahirkan
memiliki pengaruh yang berbeda pada kesehatan ibu dan janinnya. Kehamilan dan
persalinan di bawah umur 20 tahun memiliki resiko yang sama tingginya dengan
kehamilan umur 35 tahun keatas sehingga dapat menimbulkan resiko. Usia
berkaitan dengan masalah kesehatan, resiko akan meningkat sejalan dengan usia.
Persalinan pada ibu usia tua dapat menimbulkan kecemasan yang mengakibatkan
persalinan yang lebih sulit dan lama (Kasdu, 2005 dan Curtis, 2000).
h. Gravida
empat atau lebih,
Untuk kehamilan keempat atau lebih ini
merupakan kehamilan yang rawan. Sehingga besar kemungkinan terjadi sesuatu yang
buruk pada janin. Yang juga menyebabkan gawat janin karena gangguan sirkulasi darah sehingga
pasokan oksigen ke janin berkurang yang kemudian terjadi gawat janin sehingga
janin mengalami asfiksia.
2. Faktor
Tali pusat
Kompresi umbilicus akan mengakibatkan
terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilicus dan menghambat
pertukaran gas antar ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan
pada keadaan lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat.
1) Lilitan
tali pusat. Menyebabkan gangguan aliran darah pada tali pusat. Yang kita
ketahui bahwa darah dalam tubuh membawa oksigen untuk diedarkan ke seluruh
tubuh.
2) Tali
pusat pendek. Tali pusat pendek akan menyebabkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
3) Simpul
tali pusat. Karena tekanan tali pusat yang kuat menyebabkan pernafasan pada
janin terhambat
4) Prematur
adalah keadaan bayi lahir hidup sebelum usia kehamilan minggu ke 37 (dihitung
dari hari pertama haid terakhir). Bayi yang lahir kurang bulan memiliki organ
dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar
rahim. Prognosis bayi prematur terganutng dari berat ringannya masalah
perinatal, misalnya masa gestasi (makin muda mas gestasi maka makin tinggi
angka kematian. Terutama disebabkan oleh seringnya dijumpai kelainan komplikasi
seperti asfiksia, pneumonia, perdarahan intra kranial, dan hipoglikemia
(Saifuddin, 2002).
5) Gangguan
tali pusat, kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan
janin. Gangguan aliran darah tersebut dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit
leher, kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin (Saifuddin,
2002).
3. Faktor
neonates
a. Bayi
Prematur (Sebelum 37 minggu kehamilan)
Prematur adalah keadaan bayi lahir hidup
sebelum usia kehamilan minggu ke 37 (dihitung dari hari pertama haid terakhir).
Bayi yang lahir kurang bulan memiliki organ dan alat-alat tubuh yang belum
berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Prognosis bayi prematur
terganutng dari berat ringannya masalah perinatal, misalnya masa gestasi (makin
muda mas gestasi maka makin tinggi angka kematian. Terutama disebabkan oleh
seringnya dijumpai kelainan komplikasi seperti asfiksia, pneumonia, perdarahan
intra kranial, dan hipoglikemia (Saifuddin, 2002).
b. Kelainan
kongenital.
Cacat bawaan dalam kandungan akan
mengakibatkan asfiksia bayi karena dengan adanya cacat bawaan ini akan
menimbulkan gangguan pertumbuhan janin seperti organ janin sehingga organ paru
janin akan berfungsi abnormal.
c. Air
ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).
Bila janin kekurangan oksigen dan kadar
karbondioksida bertambah timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga
denyut jantung janin menjadi lambat. Jika ini terus berlanjut maka timbullah
rangsangan dari nervus simpatikus sehingga denyut jantung janin menjadi lebih
cepat akhirnya janin akan mengadakan
pernafasan intrauterin sehingga banyak mekonium dalm air ketuban pada paru yang
mengakibatkan denyut jantung janin menurun dan bayi tidak menunjukkan upaya
pernafasan secara spontan.
4. Faktor
persalinan
Menurut Saifuddin (2002), persalinan
normal adalah poses pengeluaan janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan
(37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang
berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin.
Faktor persalinan yang dimaksud adalah meliputi partus lama, persalinan dengan
tindakan/buatan.
a. Partus
lama menurut Mochtar (2004), yaitu persalinan yang berlangsung lebih dari 24
jam pada primipara, dan lebih dari 18 jam pada multipara. Persalinan pada primi
biasanya lebih lama 5-6 jam daripada multi. Insiden partus lama menurut
penelitian berkisar 2,8% sampai 4,9%. Bila persalinan lama, dapat menimbulkan
komplikasi baik terhadap ibu maupun bayi, dan dapat meningkatkan angka kematian
ibu dan bayi.
b. Persalinan
buatan yakni persalinan dengan rangsangan/bantuan tenaga dari luar sehingga
terdapat kekuatan untuk persalinan. Misalnya forcep/vakum/SC (Joseph &
Nugraha, 2010). Menurut Hamilton (1995), forcep digunakan untuk mempercepat
persalinan ketika hidup ibu atau janin terancam, untuk mempersingkat persalinan
kala II. Persalinan dengan forcep menyebabkan adanya tekanan pada kepala yang
bisa menekan pusat-pusat vital pada medula oblongata dan hal tersebut dapat
menyebabkan asfiksia. Persalinan cesarea adalah kelahiran bayi melalui abdomen
dan insisi uterus. Persalinan cesarea dipilih karena indikasi distres janin,
posisi sungsang, distosia, dan persalinan cesarea sebelumnya. Tindakan cesarea
bisa dilakukan pada kejadian plasenta previa, solution plasenta, gawat janin,
letak lintang. Yang mana hal tersebut berpengaruh terhadap pernapasan bayi
(Saifuddin, 2002). Persalinan buatan juga bisa dengan induksi yakni
tindakan/langkah untuk memulai persalinan yang sebelumnya belum terjadi. Metode
yang digunakan ialah amniotomi, infus oxytocin, dan pemberian prostaglandin.
Pemberian prostaglandin akan menimbulkan kontraksi otot rahim yang berlebihan
yang mana dapat mengganggu sirkulasi darah sehingga menimbulkan asfiksia janin
(Hamilton,1995).
C.
Patofisiologi
Asfiksia Pembuluh darah arteriol yang
ada di paru-paru bayi masih dalam keadaan kontriksi dan hampir seluruh darah
dari jantung kanan tidak dapat melalui paruparu sehingga darah dialirkan
melalui duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta namun suplai oksigen melalui
plasenta ini terputus ketika bayi memasuki kehidupan ekstrauteri (Masruroh,
2016). Hilangnya suplai oksigen melalui plasenta pada masa ekstrauteri
menyebabkan fungsi paru neonatus diaktifkan dan terjadi perubahan pada alveolus
yang awalnya berisi cairan kemudian digantikan oleh oksigen (Behrman et al.,
2000). Proses penggantian cairan tersebut terjadi akibat adanya kompresi dada
(toraks) bayi pada saat persalinan kala II dimana saat pengeluaran kepala,
menyebabkan badan khususnya dada (toraks) berada dijalan lahir sehingga terjadi
kompresi dan cairan yang terdapat dalam paru dikeluarkan (Manuaba,
Manuaba, & Manuaba, 2007).
Setelah toraks lahir terjadi mekanisme
balik yang menyebabkan terjadinya inspirasi pasif paru karena bebasnya toraks
dari jalan lahir, sehingga menimbulkan perluasan permukaan paru yang cukup
untuk membuka alveoli (Manuaba et al., 2007). Besarnya tekanan cairan pada
dinding alveoli membuat pernapasan yang terjadi segera setelah alveoli terbuka
relatif lemah, namun karena inspirasi pertama neonatus normal sangat kuat
sehingga mampu menimbulkan tekanan yang lebih besar ke dalam intrapleura
sehingga semua cairan alveoli dapat dikeluarkan (Hall & Guyton, 2014).
Selain itu, pernapasan pertama bayi timbul karena ada rangsangan-rangsangan
seperti penurunan PO2 dan pH, serta peningkatan PCO2 akibat adanya gangguan
pada sirkulasi plasenta, redistribusi curah jantung sesudah talipusat diklem,
penurunan suhu tubuh dan berbagai rangsangan taktil (Behrman et al., 2000).
Namun apabila terjadi gangguan pada
proses transisi ini, dimana bayi tidak berhasil melakukan pernapasan pertamanya
maka arteriol akan tetap dalam vasokontriksi dan alveoli akan tetap terisi
cairan. Keadaan dimana bayi baru lahir mengalami kegagalan bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah dilahirkan disebut dengan asfiksia
neonatorum (Fida & Maya, 2012). Menurut Price & Wilson (2006) gagal
napas terjadi apabila paru tidak dapat memenuhi fungsi primernya dalam
pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteri dan pembuangan karbon dioksida
(Price & Wilson, 2006). Proses pertukaran gas terganggu apabila terjadi
masalah pada difusi gas pada alveoli. Difusi gas merupakan pertukaran antara
oksigen dengan kapiler paru dan CO2 kapiler dengan alveoli (Hidayat, 2008).
Proses difusi gas pada alveoli dipengaruhi oleh luas permukaan paru, tebal
membran respirasi/permeabelitas membran, perbedaan tekanan dan konsentrasi
oksigen dan afinitas gas (Hidayat, 2008).
D.
Manifestasi
Klinis
Bayi tidak bernapas atau napas
megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit sianosis, pucat,
tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan (Sembiring,
2017).
Penilaian APGAR
A : Apprearance = rupa (warna kulit)
P : Pulse = nadi
G : Grimace = menyeringai (akibat refleks kateter dalam hidung)
A : Activity = keaktifan
R :Respiration = pernapasan
Tabel
Skor APGAR
NILAI |
0 |
1 |
2 |
Nafas |
Tidak ada |
Tidak teratur |
Teratur |
Denyut jantung |
Tidak ada |
<100 |
>100 |
Warna Kulit |
Biru/Pucat |
Tubuh kemerahan & ekstremitas
biru |
Tubuh dan ekstremitas kemerahan |
Gerakan/Tonus Otot |
Lumpuh |
Ekstremitas agak fleksi |
Gerakan aktif |
Refleks |
Tidak ada |
Lemah/lambat |
Menangis Kuat |
Klasifikasi
Asfiksia Menurut APGAR
1. Asfiksia
Berat (Nilai APGAR 0-3)
Resusitasi
aktif dalam keadaan ini harus segera dilakukan. Langkah utama ialah memperbaiki
ventilasi paru-paru dengan memberikan O2 secara tekanan langsung dan
berulang-ulang. Bila setelah beberapa waktu pernapasan spontan tidak timbul dan
frekuensi jantung menurun maka pemberian obat-obat lain serta massase jantung
sebaiknya segera dilakukan.
2. Asfiksia
ringan-sedang (Nilai APGAR 4-6)
Pernapasan
aktif yang sederhana dapat dilakukan secara pernapasan kodok (frog breathing).
Cara ini dikerjakan dengan melakukan pipa ke dalam jantung dan O2 dialirkan
dengan kecepatan 1-2 liter dalam 1 menit. Agar saluran napas bebas, bayi
diletakkan dengan kepala dorsofleksi.
Pada pernapasan
dari mulut ke mulut, mulut penolong diisi terlebih dahulu dengan O2 sebelum
pernapasan. Peniupan dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20-30 kali
semenit dan diperhatikan gerakan pernapasan yang mungkin timbul. Jika terjadi
penurunan frekuensi jantung dan tonus otot maka bayi dikatakan sebagai
penderita asfiksia berat.
Tujuan melakukan
tindakan terhadap bayi asfiksia adalah melancarkan kelangsungan pernafasan bayi
yang menimbulkan sebagian besar terjadi pada waktu persalinan.
3. Bayi
normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
4. Bayi
normal dengan nilai APGAR 10
Asfiksia dimulai dengan suatu periode
Apneu
Seorang bayi mengalami kekurangan
oksigen,maka akan terjadi napas cepat. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan
napas akan berhenti, denyut jantung mulai menurun dan tonus otot berkurang
secara berangsur, dan bayi memasuki periode apneu primer. Apneu primer yaitu
bayi mengalami kekurangan oksigen dan terjadi pernapasan yang cepat dalam
periode singkat, dimana terjadi penurunan frekuensi jantung. Pemberian
rangsangan dan oksigen selama periode ini dapat merangsang terjadinya
pernapasan. Selanjutnya, bayi akan memperlihatkan usaha bernapas (gasping) yang
kemudian diikuti oleh pernapasan teratur (Sutaryo, magetsari, mulyono,
kurnianda, 2000).
Apabila asfiksia berlanjut, bayi akan
menunjukan pernapasan gasping (megap-megap), denyut jantung menurun, tekanan
darah menurun, dan bayi tampak lemas (flaksid). Pernapasan semakin lemah sampai
akhirnya berhenti, dan bayi memasuki periode apneu sekunder. Apneu sekunder
yakni pada penderita asfiksia berat, yang mana usaha bernapasnya tidak tampak
dan selanjutnya bayi berada pada periode apneu kedua. Pada keadaan tersebut
akan ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah serta penurunan kadar
oksigen dalam darah. Bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak
menunjukan upaya bernapas secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali bila
resusitasi dengan napas buatan dan pemberian oksigen segera dimulai. Sulit
sekali membedakan antara apneu primer dan sekunder, oleh karenanya bila
menghadapi bayi lahir dengan apneu, anggaplah sebagai apneu sekunder dan
bersegera melakukan tindakan resusitasi (Novita, 2011).
Perubahan Patofisiologis dan Gambaran Klinis
Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir
tidak bernapas secara spontan dan teratur. Sering sekali bayi mengalami gawat
janin sebelum persalinan akan mengalami asfiksia setelah persalinan. Masalah
tersebut mungkin berkaitan erat dengan kondisi ibu, masalah pada tali pusat dan
plasenta atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan. Apabila janin
kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, maka timbulah rangsangan terhadap nervus
vagus sehingga bunyi jantung janin menjadi lambat (Depkes RI, 2005).
Kekurangan O2 akan merangsang usus
sehingga mekonium keluar sebagai tanda janin dalam asfiksia. Secara klinis
tanda-tanda asfiksia adalah denyut jantung janin yang lebih cepat dari
160x/menit atau kurang dari 100x/menit, halus dan irreguler, serta adanya pengeluaran
mekonium. Jika DJJ normal dan terdapat mekonium, maka janin mulai asfiksia.
Jika DJJ lebih dari 160x/menit dan ada mekonium maka janin sedang asfiksia.
Jika DJJ kurang dari 100x/menit dan ada meconium maka janin dalam keadaan gawat
(Mochtar, 1998).
Pernafasan spontan bayi baru lahir
bergantung kepada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Proses
kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara
pada bayi (asfiksia transient). Proses ini dianggap sangat perlu untuk
merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi “primary gasping” yang
kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak
mempunyai pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya. Pada
bayi yang mengalami asfiksia berat, akan terjadi apnu kedua (secondary apnoea).
Di samping adanya perubahan klinis, akan
terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-basa pada
tubuh bayi. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas mungkin hanya menimbul¬kan
asidosis respiratorik. Bila gangguan berlanjut, dalam tubuh bayi akan terjadi
proses metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga
sumber glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan ber¬kurang. Asam
organik yang terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan timbulnya asidosis
metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang
disebabkan oleh beberapa keadaan di antaranya:
a) Hilangnya
sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung,
b) Terjadinya
asidosis metabolik akan mengakibatkan me¬nurunnya sel jaringan, termasuk otot jantung
sehingga menimbulkan kelemahan jantung,
c) Pengisian
udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi
pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan demikian pula ke
sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan.
Acidosis dan gangguan kardiovaskuler
yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak
yang terjadi menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi
se¬lanjutnya.
E.
Gejala
klinis
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan
terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia
berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga menurun, sedangkan
tonus neuromuskular berkurang secara barangsur-angsur dan memasuki periode
apnue primer. Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain
meliputi pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat.
Gejala lanjut pada asfiksia :
1.
Pernafasan megap-magap
dalam
2.
Denyut jantung terus
menurun
3.
Bayi terlihat lemas
(flaccid)
4.
Terjadinya perubahan
sistem kardiovaskular
5.
Pernafasan terganggu
6.
Detak jantung berkurang
7.
Reflek / respon bayi
melemah
8.
Tonus otot menurun
9.
Warna kulit biru atau
pucat
F. Komplikasi
Pasca Hipoksia
Komplikasi yang muncul pada asfiksia
neonatus antara lain :
a. Edema
otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan
fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga
aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia
dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat
menimbulkan perdarahan otak.
b. Anuria
atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula
terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat
terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah
jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium
dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit dan terjadilah asfiksia
pada neonatus..
c. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan
mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan
persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang
pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.
d. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat
segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya
hipoksemia dan perdarahan pada otak. Koma terjadi karena gangguan pengaliran
darah menuju otak sehingga otak tidak mendapatkan asupan oksigen untuk
melakukan metabolisme.
G.
Diagnosis
Asfiksia
Diagnosis Asfiksia yang terjadi pada
bayi biasanya merupakan kelanjutan dari hipoksia janin. Diagnosis hipoksia
dapat dibuat ketika dalam persalinan yakni saat ditemukanna tanda-tanda gawat
janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian (Saifuddin, 2002) :
a. Denyut
jantung janin
Frekuensi normal denyut jantung janin
adalah antara 120 sampai 160x/menit. Selama his frekuensi tersebut bisa turun,
tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan
denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, namun apabila frekuensi turun
sampai dibawah 100 per menit di luar his dan terlebih jika tidak teratur, hal
tersebut merupakan tanda bahaya.
b. Pemeriksaan
pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang
dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan
diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis
menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu
dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia.
c. Mekonium
dalam air ketuban
Pada presentasi kepala mungkin menunjukan
gangguan oksigenasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam
air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri
persalinan bila hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karena itu
perlu diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut jika terdapat
asfiksia. Tingkatannya perlu diketahui untuk melakukan tindakan resusitasi yang
sempurna. Hal tersebut diketahui dengan penilaian menurut APGAR.
H.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Laboratorium
o Biasanya
ditemukan menurunya kadar hematokrit dan peninggian trombosit akibat
hiperaktivitas sumsum tulang.
o Untuk
menunjukan adanyan cairan spinal yang bercampur darah atau xantokrom disertai
dengan peninggian jumlah sel darah merah dan protein, serta penurunan glukosa.
2. USG
Untuk memantau berbagai perubahan yang
terjadi akibat perdarahan.
3. Manajemen
Asfiksia Neonatorum
Manajemen Asfiksia pada BBL meliputi :
Persiapan Resusitasi, Keputusan Perlunya Resusitasi, Tindakan Resusitasi,
Asuhan pasca Resusitasi, Asuhan tindak lanjut pasca Resusitasi dan Pencegahan
infeksi.
I.
Dampak
Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir
1. Otak
: Ensepalo hipoksis iskemik (EHI) / kerusakan otak karena kekurangan kadar
oksigen dan penimbunan karbondioksida sehingga otak tidak dapat melakukan metabolisme
untuk sel dan jaringan pada tubuh bayi.
2. Ginjal
: Gagal ginjal akut karena tidak terjadi metabolisme dalam tubuh sehingga
fungsi ginjal menjadi abnormal. Perinatal hipoksemia menyebabkan penurunan
aliran darah ke ginjal akibat vasokonstriksi renal dan penurunan laju filtrasi
glomerulus. Selain itu juga terjadi aktivitasi sistem renin
angiotensin-aldosteron dan sistem adenosin intrarenal yang menstimulasi
pelepasan katekolamin dan vasopresin. Semua faktor ini akan mengganggu
hemodinamik glomeruler.
3. Jantung
: Gagal jantung akibat gangguan aliran
darah sehingga jantung tidak dapat memompa darah ke seluruh tubuh . Disfungsi
miokard dan penurunan kontraktilitas, syok kardiogenik, gagal jantung. Bayi
dengan hipotensi dan curah jantung yang rendah akan mengalami gangguan
autoregulasi otak sehingga risiko kerusakan otak karena hipoksi-iskemi
meningkat.
4. Saluran
cerna : EKN = Entero kolitis Nekrotikans/ NEC= Nekrotizing entero. hal ini
disebabkan proliferasi bakteri ke dalam mukosa usus yang mengalami asfiksia dan
iskemia
5. paru
: faktor penyebab keluarnya mekonium adalah stress intrauterin seperti
hipoksia, asfiksia, dan asidosis. Asfiksia meyebabkan peningkatan peristaltic
gastrointestinal dan relaksasi tonus otot spinkter ani, sehingga terjadi
pengeluaran mekonium. Apabila fetus mengalami gasping intrauterine, maka
terjadilah aspirasi mekonium.
J. Pencegahan dan
penanganan asfiksia neonatorum
Pencegahan yang
komprehensif dimulai dari masa kehamilan, persalinan dan beberapa saat setelah
persalinan. Pencegahan berupa :
a.
Melakukan pemeriksaan
antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan untuk mendeteksi secaradini kelainan
pada ibu hamil dan janin dan ibu mendapat rujukan ke rumah sakit secara segera.
b.
Melakukan rujukan ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap pada kehamilan yang diduga
berisiko bayinya lahir dengan asfiksia neonatorum untuk penangan segera agra
tidak terjadi kematian ibu dan bayi.
c.
Memberikan terapi
kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37
minggu.
d.
Melakukan pemantauan
yang baik terhadap kesejahteraan janin dan deteksi dini terhadap tanda-tanda
asfiksia fetal selama persalinan dengan kardiotokografi untuk mengontrol
pernafasan bayi.
e.
Meningkatkan
ketrampilan tenaga obstetri dalam penanganan asfiksia neonatorum di
masing-masing tingkat pelayanan kesehatan.
f.
Meningkatkan kerjasama
tenaga obstetri dalam pemantauan dan penanganan persalinan.
g.
Melakukan Perawatan
Neonatal Esensial untuk meminimalisir resiko saat persalinan berlangsung yang terdiri dari :
1)
Persalinan yang bersih
dan aman
2)
Stabilisasi suhu
3)
Inisiasi pernapasan
spontan
4)
Inisiasi menyusu dini
5)
Pencegahan infeksi
serta pemberian imunisasi
K.
Gangguan
pertukaran gas pada asfiksia neonatorum
A.
Pengertian
Kelebihan
atau defisit oksigenasi dan atau eleminasi karbondioksida pada membran
alveolar-kapiler (Herdman & Kamitsuru, 2015). Gangguan pertukaran gas
merupakan suatu kondisi dimana terjadinya kelebihan atau kekurangan oksigenasi
dan/atau eleminasi karbondioksida pada membran alveolus-kapiler (PPNI, 2017).
Terjadinya gangguan pertukaran gas ini menunjukkan penurunan kapasitas difusi,
yang antara lain disebabkan oleh menurunnya luas permukaan difusi, menebalnya
membran alveolar kapiler, rasio ventilasi perfusi tidak baik (Mubarak,
Indrawati, & Susanto, 2015).
B. Patofisiologi gangguan
pertukaran gas
Asfiksia
merupakan suatu keadaan dimana bayi baru lahir mengalami gangguan tidak segera
bernapas secara spontan dan teratur setelah lahir yang disebabkan oleh beberapa
faktor seperti persalinan lama, adanya lilitan tali pusat, dan presentasi janin
abnormal (Nurarif & Kusuma, 2015). Kegagalan bayi bernapas secara spontan
ini menyebabkan cairan yang mengisi alveoli gagal dikeluarkan dari alveoli
(Masruroh, 2016). Cairan ini menyebabkan paru-paru menjadi kaku dan resisten
terhadap ekspansi sehingga komplians paru atau kemampuan jaringan paru-paru
untuk mengembang atau meregang menjadi terganggu sehingga mengganggu proses
perfusi ventilasi (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010). Karena adanya
tahanan paru-paru untuk mengembang maka kadar oksigen yang masuk ke paru-paru
juga akan berkurang sedangkan pada bayi baru lahir memerlukan oksigen yang
cukup untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk metabolisme ((Masruroh,
2016) : (Nurarif & Kusuma, 2015)). Penurunan kadar oksigen dalam proses
metabolisme ini menyebabkan terjadinya proses glikolisis anerobik sehingga
menimbulkan produk sampingan berupa asam laktat dan piruvat sehingga terjadi
peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH darah sehingga
terjadi asidosis respiratorik (Masruroh, 2016). Tubuh berusaha mengompensasi
keadaan asidosis ini dengan cara meningkatkan ventilasi untuk menurunkan jumlah
karbondioksida selain itu hemoglobin juga tidak membebaskan oksigen ke jaringan
dengan mudah sehingga terjadi hipoksia jaringan (Potter & Perry, 2005).
Adanya hipoksia jaringan, hiperventilasi, serta terjadinya asidosis repiratorik
merupakan akibat dari terganggunya pertukaran gas pada bayi baru lahir.
C. Manifestasi Klinis
Menurut
(PPNI, 2017) data mayor untuk masalah gangguan pertukaran gas yaitu :
a. Dispnea
Dispnea sering disebut sesak napas,
napas pendek, breathlessness atau shortness of breath (Djojodibroto, 2009).
Menurut Djojodibroto (2009) dispnea adalah gejala subyektif berupa keinginan
penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan. Karena
sifatnya subyektif, dispnea tidak dapat diukur (namun terdapat gradasi sesak
napas). Meskipun sifatnya subyektif, dispnea dapat ditentukan dengan melihat
adanya upaya bernapas aktif dan upaya menghirup udara lebih banyak
(Djojodibroto, 2009). Dispnea sebagai peningkatan upaya bernapas dapat ditemui
pada berbagai kondisi klinis penyakit pulmonal dan jantung. Dispnea yang
berkaitan dengan penyakit pernapasan terjadi akibat perubahan patologi yang
meningkatkan tekanan jalan napas, penurunan komplians pulmonal, perubahan
sistem vaskular pulmonal atau melemahnya otot-otot pernapasan (Asih &
Effendy, 2004). Dispnea mengacu pada ventilasi yang lebih besar dari jumlah
yang dibutuhkan untuk mempertahankan eliminasi normal karbondioksida, dispnea
diidentifikasi dengan mengamati tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2)
(Asih & Effendy, 2004).
b. PaCO2
meningkat/menurun
Tekanan
yang dikeluarkan oleh karbondioksida yang terlarut di dalam plasma darah arteri
(Kozier et al., 2010). PaCO2 menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat
metabolisme normal PaCO2 sepenuhnya dipengaruhi oleh ventilasi. Pada kondisi
gangguan metabolisme PaCO2 dapat menjadi tidak normal karena sebagai kompensasi
keadaan metabolic. Nilai normal PaCO2 adalah 35-45 mmHg, nilai PaCO2 (>45
mmHg) disebut dengan hipoventilasi, nilai PaCO2 (<35 mmHg ) disebut dengan
hiperventilasi (Bararah & Jauhar, 2013)
c. PaO2
menurun
PaO2
adalah tekanan yang dikeluarkan oleh oksigen yang terlarut di dalam plasma
darah arteri (Kozier et al., 2010). Kadar PaO2 yang rendah menggambarkan
hipoksemia dan pasien tidak mampu bernafas secara adekuat. PaO2 dibawah 60 mmHg
mengindikasikan perlunya mendapatkan terapi oksigen tambahan. Kadar normal PaO2
dalam darah adalah 80-100 mmHg. Kadar PaO2 60-80 mmHg disebut
dengan hipoksemia ringan. Kadar PaO2 40-60 mmHg disebut dengan hipoksemia
sedang dan kadar PaO2 60-80 mmHg disebut dengan hipoksemia ringan. Kadar PaO2
40-60 mmHg disebut
dengan hipoksemia sedang dan kadar PaO2 (<40 mmHg) disebut dengan hipoksemia berat
(Bararah & Jauhar, 2013).
d. Takikardia
Takikardia
adalah suatu kondisi dimana kecepatan denyut jantung lebih cepat dari jantung
orang normal dalam kondisi beristirahat. Detak jantung dikontrol oleh sinyal
listrik yang berasal dari area kecil yang disebut nodus atrioventrikuler yang
berada diantara ruang atas dan bawah jantung. Takikardi terjadi ketika sinyal
elektrik tersebut terganggu. Faktor yang mempengaruhi terganggunya sinyal
listruk tersebut diantaranya dimana kelenjar tiroid menjadi overaktif sehingga
menghasilkan banyak hormone tiroksin. Penyebab lainnya adalah merokok, minum
minuman keras, jaringan jantung yang telah rusak karena adanya penyakit
jantung, latihan fisik berat, tekanan darah tinggi, anemia, kelainan jantung
elektrik bawaan serta stress yang sifatnya mendadak.
e. pH
arteri meningkat/menurun
pH
adalah ukuran asiditas atau alkalitas relatif darah (Kozier et al., 2010). Jika
nilai pH darah menurun disebut asidemia yaitu keadaan kelebihan asam di dalam
darah. Jika nilai pH darah meningkat disebut alkalemia yaitu kekurangan asam di
dalam darah. Asidemia maupun alkalemia dapat bersifat respiratorik maupun
metabolic. Adanya mekanisme metabolic mengupayakan adanya suatu kompensasi,
baik terhadap suasana asidema maupun dalam keadaan alkalemia agar pH darah
tetap dalam rentang normal yaitu 7,4 mmHg. Jika terjadi perubahan asam basa
darah namun suasana telah terkompensasi sehingga pH mendekati nilai 7,4 mmHg, keadaan
ini sudah tidak digolongkan kedalam asidemia dan alkalemia tetapi asidosis yaitu asidemia yang sudah terkompensasi
dan alkalosis yaitu alkalemia yang sudah terkompensasi. Kadar pH normal
7,35-7,45 mmHg. Kadar pH < 7,35 disebut asidosis dan kadar pH >7,45
disebut alkalosis
f. Bunyi
napas tambahan
g.
Menurut (Djojodibroto,
2014), Bunyi nafas bronkial dan vesikuler adalah suara nafas normal, terdapat
bunyi nafas lain yang disebut suara nafas tambahan (adventitious sounds atau
added sounds). Bunyi napas lain hanya didapatkan dalam suatu keadaan yang tidak
normal. Bunyi nafas tambahan disebut juga bunyi nafas tidak normal (abnormal
breath sounds). Suara ini disebabkan karena adanya sumbatan jalan napas atau
obstruksi. Menurut lamanya bunyi, bunyi nafas tambahan dibedakan menjadi bunyi
yang terdengar kontinu dengan bunyi yang terdengar tidak kontinu. Bunyi napas
tambahan dibedakan menjadi lima bunyi yaitu:
a).
Stridor
Stridor
adalah bunyi yang terdengar kontinu (tidak terputus-putus), bunyi ini bernada
tinggi baik saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi, bunyi ini dapat
terdengar tanpa menggunakan stetoskop, bunyi ini ditemukan pada saluran napas
atas (laring) atau trakea, dapat disebakan karena adanya penyempitan saluran
napas.Pada orang dewasa keadaan ini mengarah pada dugaan terjadinya edema
laring, kelumpuhan pita suara, tumor laring, stenosis laring yang biasanya
disebabkan oleh tindakan trakeostomi atau juga dapat disebakan oleh pipa
endotrakeal.
b).Ronkhi
basah Ronkhi basah adalah bunyi yang terdengar kontinu.Bunyi napas tambahan
ronkhi bernada rendah sehingga bersifat sonor, terdengar tidak mengenakkan
(raspy). Bunyi napas tambahan ronki terjadi pada saluran napas besar seperti
trakea bagian bawah dan bronkus utama. Bunyi napas ini disebabkan karena udara
melewati penyempitan, dapat terjadi saat inspirasi maupun ekspirasi.
c).
Suara mengi (wheezing) Mengi adalah bunyi terdengar kontinu, nada mengi lebih
tinggi dibandingkan bunyi nafas lain. Sifatnya musical, bunyi napas mengi
disebabkan karena adanya suatu penyempitan saluran napas kecil (bronkus perifer
dan bronkiolus). Karena udara melewati suatu penyempitan, mengi dapat terjadi
baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi. Terjadinya penyempitan
jalan nafas dapat disebabkan karena adanya sekresi berlebihan, edema mukosa,
konstriksi otot polos, tumor maupun karena adanya benda asing.
d).Ronkhi
kering (rales/crackles) Bunyi napas ronkhi kering terdengar diskontinu atau
terputus-putus. Bunyi ini disebabkan karena adanya cairan di dalam saluran napas
dan kolapsnya saluran udara di bagian distal dan alveoli. Terdapat tiga macam
ronkhi kering diantaranya halus(fine rales), sedang (medium rales), dan kasar
(coarse rales).
e).Bising
gesek pleura ( Pleural friction rubs ). Bising gesek pleura dihasilkan oleh
bunyi gesekan permukaan antara pleura perietalis dan pleura viseralis. Bunyi
gesekan ini terjadi karena kedua permukaan kasar.Permukaan pleura kasar
disebabkan oleh eksudat fibrin. Suara gesekan terdengar keras pada saat akhir
inspirasi, tetapi sebenarnya bising gesek pleura terdengar saat
inspirasi dan saat ekspirasi. Bisisng gesek pleura terdengar pada saat bernafas
dalam. Gesekan pleura sering terdengar pada dinding dada lateral bawah dan
anterior. Gesekan pleura yang kuat juga dapat dirasakan pada saat palpasi dan
terasa sebagai vibrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar