HAND OUT PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PELAYANAN
KEBIDANAN
Mata
Kuliah : Etika Profesi
Dan Hukum Kesehatan
Topik : Pengambilan Keputusan Dalam Pelayanan
Kebidanan
Sub
Topik :
1. Pengambilan
keputusan dalam menghadapi dilema etik/moral pelayanan kebidanan
2. Masalah-masalah
etik moral yang mungkin terjadi dalam praktek bidan
3. Langkah-langkah
penyelesaian masalah
4. Informed
choice
5. Informed
consent
Sasaran : Tingkat I Semester II
Dosen : Fitria DN
OBJEK PRILAKU
SISWA
Setelah
perkuliah ini, diharapkan agar mahasiswa mampu :
1. Pengambilan
keputusan dalam menghadapi dilema etik/moral pelayanan kebidanan
2. Masalah-masalah
etik moral yang mungkin terjadi dalam praktek bidan
3. Langkah-langkah
penyelesaian masalah
4. Informed
choice
5. Informed
consent
REFRENSI
1. Karlina Novvi,
dkk. 2015. “Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan “. In Media. Bogor
2. Puji
Wahyuningsih, Heni. 2008. Etika Profesi
Kebidanan. Fitramaya. Yogyakarta.
PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
Pengambilan keputusan merupakan
kemampuan mendasar bagi praktisi kesehatan, khususnya dalam asuhan keperawatan
dan kebidanan. Tidak hanya berpengaruh pada proses pengelolaan asuhan
keperawatan dan kebidanan, tetapi penting untuk meningkatkan kemampuan merencanakan
perubahan. Perawat dan bidan pada semua tingkatan posisi klinis harus memiliki
kemampuan menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan yang efektif, baik
sebagai pelaksana/staf maupun sebagai pemimpin. Pengambilan keputusan bukan
merupakan bentuk sinonim.
Pemecahan masalah dan proses
pengambilan keputusan membutuhkan pemikiran kritis dan analisis yang dapat
ditingkatkan dalam praktek. Pengambilan keputusan merupakan upaya pencapaian
tujuan dengan menggunakan proses yang sistematis dalam memilih alternatif.
Pemecahan masalah termasuk dalam langkah proses pengambilan keputusan, yang
difokuskan untuk mencoba memecahkan masalah secepatnya. Masalah dapat
digambarkan sebagai kesenjangan diantara “apa yang ada dan apa yang seharusnya
ada”. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang efektif diprediksi bahwa
individu harus memiliki kemampuan berfikir kritis dan mengembangkan dirinya
dengan adanya bimbingan dan role model di lingkungan kerjanya.
A. Pengertian
Pengambilan Keputusan
Proses
pengambilan keputusan merupakan bagian dasar dan integral dalam praktik suatu
profesi dan keberadaanya sangat penting karena akan menentukan tindakan
selanjutnya.
Menurut
George R.Terry, pengambilan keputusan adalah memilih alternatif yang
ada. Ada 5 (lima) hal pokok dalam pengambilan keputusan:
1.
Intuisi berdasarkan perasaan, lebih subyektif
dan mudah terpengaruh
Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi atau perasaan lebih bersifat
subjektif yaitu mudah terkena sugesti, pengaruh luar, dan faktor kejiwaan lain.
Sifat subjektif dari keputusuan intuitif ini terdapat beberapa keuntungan,
yaitu :
·
Pengambilan keputusan
oleh satu pihak sehingga mudah untuk memutuskan.
·
Keputusan intuitif
lebih tepat untuk masalah-masalah yang bersifat kemanusiaan.
Pengambilan keputusan yang berdasarkan intuisi membutuhkan waktu yang singkat
Untuk masalah-masalah yang dampaknya terbatas, pada umumnya pengambilan
keputusan yang bersifat intuitif akan memberikan kepuasan. Akan tetapi,
pengambilan keputusan ini sulit diukur kebenarannya karena kesulitan mencari
pembandingnya dengan kata lain hal ini diakibatkan pengambilan keputusan
intuitif hanya diambil oleh satu pihak saja sehingga hal-hal yang lain sering
diabaikan.
2.
Pengalaman mewarnai pengetahuan praktis,
seringnya terpapar suatu kasus meningkatkan kemampuan mengambil keputusan
terhadap nsuatu kasus. Dalam
hal tersebut, pengalaman memang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan
masalah. Keputusan yang berdasarkan pengalaman sangat bermanfaat bagi pengetahuan
praktis. Pengalaman dan kemampuan untuk memperkirakan apa yang menjadi latar
belakang masalah dan bagaimana arah penyelesaiannya sangat membantu dalam
memudahkan pemecaha masalah.
3.
Fakta, keputusan lebih riel, valit dan baik.
Keputusan yang berdasarkan
sejumlah fakta, data atau informasi yang cukup itu memang merupakan keputusan
yang baik dan solid, namun untuk mendapatkan informasi yang cukup itu sangat
sulit.
4.
Wewenang lebih bersifat rutinitas
Keputusan yang
berdasarkan pada wewenang semata maka akan menimbulkan sifat rutin dan
mengasosiasikan dengan praktik dictatorial. Keputusan berdasarkan wewenang
kadangkala oleh pembuat keputusan sering melewati permasahan yang seharusnya
dipecahkan justru menjadi kabur atau kurang jelas
5.
Rasional, keputusan bersifat obyektif,
trasparan, konsisten. Keputusan
yang bersifat rasional berkaitan dengan daya guna. Masalah – masalah yang
dihadapi merupakan masalah yang memerlukan pemecahan rasional. Keputusan yang
dibuat berdasarkan pertimbangan rasional lebih bersifat objektif. Dalam
masyarakat, keputusan yang rasional dapat diukur apabila kepuasan optimal
masyarakat dapat terlaksana dalam batas-batas nilai masyarakat yang di akui
saat itu.
B. FUNGSI DAN TUJUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
*Fungsi Pengambilan Keputusan individual atau kelompok baik secara
institusional ataupun organisasional, sifatnya futuristik.
*Tujuan Pengambilan Keputusan tujuan yang bersifat tunggal (hanya satu
masalah dan tidak berkaitan dengan masalah lain) Tujuan yang bersifat ganda
(masalah saling berkaitan, dapat bersifat kontradiktif ataupun tidak
kontradiktif).
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam organisasi itu dimaksudkan untuk
mencapai tujuan organisasinya yang dimana diinginkan semua kegiatan itu dapat
berjalan lancer dan tujuan dapat dicapai dengan mudah dan efisien. Namun, kerap
kali terjadi hambatan-hambatan dalam melaksanakan kegiatan. Ini merupakan
masalah yang hatus dipecahkan oleh pimpinan organisasi. Pengambilan keputusan
dimaksudkan untuk memecahkan masalah tersebut.
C. Teori-Teori
Pengambilan Keputusan
1.
Teori Utilitarisme: Ketika keputusan
diambil, memaksimalkan kesenangan, meminimalkan ketidaksenangan. Dipercayai bahwa semua manusia
memiliki satu kesamaan, mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan.
Seseorang yang melakukan suatu aktifitas akan, pada akhirnya, membawa ,ereka
pada kesenngan dan menghindari segala sesuatu yang akan menimbulkan
ketidaksenangan.Teori ini dibagi menjadi menjadi 2 bentuk yaitu :
·
Utilitarisme Perbuatan (Act-Utilitarianism). Pada bentuk ini setiap
perbuatan dinilai berdasarkan konsekuensinya. Maka suatu perbuatan dapat
dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan
sebanyak mungkin orang. Bentham, sampai pada the principles of Utility yang
berbunyi “The Greatest Happines of The Great Number”. Contoh kasus:
Pelaksanaan imunisasi PIN setiap bulan Oktober – November untuk mengeliminasi penyakit Polio di Indonesia.
Pelaksanaan imunisasi PIN setiap bulan Oktober – November untuk mengeliminasi penyakit Polio di Indonesia.
·
Utilitarianisme
Aturan (Rule-Utilitarianism) seorang filsuf inggris-amerika (Stephen T)
menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu
perbuatan, melainkan atas aturan-aturan yang mengatur perbuatan kita. Contoh
kasus : Kasus aborsi teurapeutik yang diberlakukan kepada pasien dengan kondisi
tertentu, karena di suatu agama dan hokum tidak dibenarkan tapi ketika kondisi
ibu tersebut benar-benar akan mengancam jiwa ibu maka abortus terapeutikus akan
sangat dibutuhkan.
2.
Teori Deontology : Menurut Immanuel Kant:
sesuatu dikatakan baik bila bertindak baik. Contoh bila berjanji ditepati, bila
pinjam hrus dikembalikan. Deontologi berasal dari kata “deon” yang berarti kewajiban. Teori
deontologi disusun oleh Immanuel Kant (seorang Methaphysician) pada abad 18.
Kant memformulasikan teori ini sebagai istilah lain dari hal-hal benar yang harus
dilakukan tanpa mempertimbangkan konsekwensinya. Teori Kants merefleksikan
bahwa bertindak secara moral memiliki kaitan dengan penghormatan terhadap
tugas. Dalam teori ini. Aturan-aturan moral diaplikasikan pada setiap orang.
·
Contohnya :
seseorang tidak boleh berbohong pada kondisi apapun (Henry,1996). Kant percaya
bahwa rasionalisasi yang mengikat hal ini adalah yang dia sebut sebagai hukum
moral tertinggi (Gillon,1992).
Sebuah tindakan dapat dikatakan bermoral hanya bila diterima oleh setiap orang sebagai hukum yang universal
Sebuah tindakan dapat dikatakan bermoral hanya bila diterima oleh setiap orang sebagai hukum yang universal
·
Kant percaya bahwa
manusia adalah makhluk hidup yang dapat menjadi seseorang yang berotonomi dan
memiliki moral rasional dan harus dihormati (Edwards 1996). Contoh kasus :
Ketika seorang harus ke suatu tempat, lalu datang seorang bapak yang minta pertolongan bidan agar dapat membantu kelahiran bayinya, maka bidan harus melakukan kewajiban yang dilakukan sebagai seorang bidan.
Ketika seorang harus ke suatu tempat, lalu datang seorang bapak yang minta pertolongan bidan agar dapat membantu kelahiran bayinya, maka bidan harus melakukan kewajiban yang dilakukan sebagai seorang bidan.
3.
Teori Hedonisme: Menurut Aristippos , sesui
kodratnya, setiap manusia mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan.
Hedone dalam
bahasa Yunani berarti kesenangan. Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah
ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433 – 355 SM), seorang murid
Socrates. Socrates telah bertanya tentang tujuan akhir bagi kehidupan manusia atau
apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia,tapi ia sendiri tidak memberikan
jawaban yang jelas atas pertanyaan itu dan hanya mengeritik jawaban-jawaban
yang dikemukakan oleh orang lain. Aristippos menjawab yang sungguh baik bagi
manusia adalah kesenangan. Filsuf lain yang melanjutkan hedonisme adalah
Epikuros ( 341 – 270 sm ) yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena.
Epikuros pun melihat kesenangan (hedone) sebagai tujuan hidup manusia. Seorang
filsuf Inggris, John Locke (1632 – 1794) mengemukakan “kita sebut baik apa yang
menyebabkan atau meningkatkan kesenangan, sebaliknya kita namakan jahat apa
yang dapat mengakibatkan atau meningkatkan ketidak senangan apa saja atau
mengurangi kesenangan apa saja dalam diri kita”.
4.
Teori Eudemonisme: Menurut Filsuf Yunani
Aristoteles , bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan,
ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar,
Aristoteles (384 – 322 sm). Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan
menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa
dikatakan juga, dalam setiap Teori Eudomonisme Pandangan ini berasal dari
filsuf yunani besar, Aristoteles (384 – 322 sm). Dalam bukunya, Ethika
Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia
mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin
mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Sering sekali kita mencari tujuan untuk
mencapai suatu tujuan lain lagi. Timbul pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang
dikejar karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi, apakah
ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut
aristoteles semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini, dalam
terminology modern kita bisa mengatakan: makna terakhir hidup manusia, adalah
kebahagiaan (eudaimonia). Contoh kasus : Ketika seorang bidan di desa
menghadapi kasus kegawatdaruratan dalam situasi bingung, takut dan cemas tapi
tetap harus mampu melaksanakan penatalaksanaan untuk mencegah kondisi menjadi
lebih buruk.
D. Bentuk
pengambilan keputusan :
·
Strategi : dipengaruhi oleh kebijakan
organisasi atau pimpinan, rencana dan masa depan, rencana bisnis dan lain-lain.
·
Cara kerja : yang dipengaruhi pelayanan kebidanan
di dunia, klinik, dan komunitas.
·
Individu dan profesi : dilakukan oleh bidan
yang dipengaruhi oleh standart praktik kebidanan.
E. Pendekatan
tradisional dalam pengambilan keputusan :
1)
Mengenal dan mengidentifikasi masalah
2)
Menegaskan masalah dengan menunjukan hubungan
antara masa lalu dan sekarang.
3)
Memperjelas hasil prioritas yang ingin
dicapai.
4)
Mempertimbangkan pilihan yang ada.
5)
Mengevaluasi pilihan tersebut.
6)
Memilih solusi dan menetapkan atau
melaksanakannya.
F. Proses Pengambilan Keputusan
1) Identifikasi masalah. Dalam hal ini pemimpin
diharapkan mampu mengindentifikasikan masalah yang ada di dalam suatu
organisasi.
2) Pengumpulan dan penganalisis data. Pemimpin diharapkan
dapat mengumpulkan dan menganalisis data yang dapat membantu memecahkan masalah
yang ada
3) Pembuatan alternatif-alternatif kebijakan. Setelah
masalah dirinci dengan tepat dan tersusun baik, maka perlu dipikirkan cara-cara
pemecahannya.
4) Pemilihan salah satu alternatif terbaik. Pemilihan
satu alternatif yang dianggap paling tepat untuk memecahkan masalah tertentu
dilakukan atas dasar pertimbangan yang matang atau rekomendasi. Dalam pemilihan
satu alternatif dibutuhkan waktu yang lama karena hal ini menentukan
alternative yang dipakai akan berhasil atau sebaliknya.
5) Pelaksanaan keputusan. Dalam pelaksanaan keputusan
berarti seorang pemimpin harus mampu menerima dampak yang positif atau negatif.
Ketika menerima dampak yang negatif, pemimpin harus juga mempunyai alternatif
yang lain.
6) Pemantauan dan pengevaluasian hasil pelaksanaan. Setelah
keputusan dijalankan seharusnya pimpinan dapat mengukur dampak dari keputusan
yang telah dibuat.
G. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
1)
Faktor fisik, didasarkan pada rasa yang
dialami oleh tubuh sepeti rasa sakit, tidak nyaman dan kenikmatan.
2)
emosional, didasarkan pada perasaan atau
sikap.
3)
Rasional, didasarkan pada pengetahuan
4)
Praktik, didasarkan pada keterampilan
individual dan kemampuan dalam melaksanakanya.
5)
Interpersonal, didasarkan pada pengrauh
jarigan sosial yang ada
6)
Struktural, didasarkan pada lingkup
sosial,ekonomi dan politik.
H. Dasar Pengambilan
keputusan :
1.
Ketidak sanggupan ( bersifat segera)
2.
Keterpaksaaan karena suatu krisis, yang
menuntut sesuatu unutuk segera dilakukan.
I.
Pengambilan keputusan yang etis, Ciri - ciri nya:
1.
Mempunyai pertimbangan yang benar atau salah
2.
Sering menyangkut pilihn yang sukar
3.
Tidak mungkin dielakkan
4.
Dipengaruhi oleh norma, situasi,
iman,lingkungan sosial
J.
Tipe-tipe/jenis-jenis Pengambilan Keputusan
1.
Pengambilan keputusan untuk tidak
berbuat apa-apa karena ketidaksanggupan atau merasa tidak sanggup.
Contoh kasus:
Di
sebuah desa terdapat seorang bidan yang bernama bidan C, bidan tersebut baru
lulusan sekolah kebidanan tahun yang lalu, tetapi bidan C sudah membuka klinik
praktik mandiri. Pada suatu ketika, ada ibu hamil yang mendatangi bidan C
tersebut dalam keadaan pendarahan hebat. Karena pengalaman yang belum cukup
banyak, bidan C bingung dan ragu-ragu harus melakukan apa karena bidan C baru
pertama kali melayani pasien pendarahan di klinik praktik mandiri miliknya
sehingga bidan C bingung untuk menentukan pilihan apakah harus merujuknya ke
Rumah Sakit atau menolong persalinan ibu hamil tersebut di klinik miliknya.
Karena terlalu lama ia memikirkan tindakan, maka ibu hamil tersebut sudah
kehabisan darah dan sudah tidak bisa untuk ditolong lagi.
2.
Pengambilan keputusan intuitif,
sifatnya segera langsung diputuskan karena keputusan tersebut dirasa paling
tepat.
Contoh kasus:
Di sebuah desa terpencil seorang ibu mengalami
pendarahan postpartum setelah melahirkan bayinya yang pertama di rumah. Ibu
tersebut menolak untuk diberikan suntikkan uterotonika. Bila ditinjau dari hak
pasien atas keputusan yang menyangkut dirinya maka bidan bisa saja tidak
memberikan suntikkan karena kemauan pasien. Tetapi bidan akan berhadapan dengan
masalah yang lebih rumit bila terjadi pendarahan hebat dan harus diupayakan
pertolongan untuk merujuk pasien, dan yang lebih fatal lagi bila akhirnya
pasien meninggal karena pendarahan. Dalam hal ini bisa dikatakan tidak
melaksanakan tugasnya dengan baik. Walaupun bidan memaksa pasiennya untuk
disuntik, mungkin itulah keputusan yang terbaik yang harus ia lakukan.
3.
Pengambilan keputusan yang
terpaksa karena harus segera dilaksanakan.
Contoh kasus:
Ny. Michel usia 25 tahun, hamil pertama yang akan
melahirkan di bidan X. Ny. Michel tinggal di Amerika bersama seorang suami. Ny.
Michel pendarahan hebat dan letak janinnya sungsang. Namun, saat Ny. Michel
akan dirujuk ke Rumah Sakit, ternyata terjadi badai salju di luar sehingga
bidan X tidak dapat melakukan apa-apa. Ny. Michel pun meninggal dan bayi yang
masih di dalam kandungannya tersebut saat diperiksa masih berdetak denyut
jantungnya. Lalu bidan X membicarakan hal ini pada suami Ny. Michel, dan suaminya
pun memaksa bidan X untuk melakukan sesuatu, yaitu seksio caesaria karena ia
tidak ingin anaknya meninggal juga. Awalnya bidan X tidak ingin melakukan
pelanggaran ini, namun jika bidan X tidak cepat mengambil keputusan, maka bayi
yang ada di dalam kandungan Ny. Michel akan ikut meninggal. Sehingga dengan
terpaksa bidan X melakukan seksio caesaria di rumahnya dengan menggunakan pisau
dapur dalam keadaan Ny. Michel telah meninggal. Jadi, bayi tersebut dapat
diselamatkan dan Ny. Michel telah meninggal dunia dari sebelum bidan X
melakukan seksio caesaria pada Ny. Michel.
4.
Pengambilan keputusan yang
reaktif. Sering kali dilaksanakan dalam situasi marah-marah atau tergesa-gesa.
Contoh kasus:
Seorang
remaja putri dengan usia kandungan baru 8 minggu, ia hamil di luar nikah dan
pasangannya pun tidak ingin mempertanggung jawabkan apa yang telah mereka
perbuat. Remaja putri tersebut datang ke bidan B berniat untuk menggugurkan
kandungannya tersebut. Dengan keadaan emosional yang meningkat, remaja putri
tersebut tidak dapat berpikir panjang sehingga menyuruh bidan untuk melakukan
aborsi pada kandungannya. Awalnya bidan B tidak ingin melakukannya, namun
remaja putri tersebut memaksa dan mengiming”kan bayaran dengan harga tinggi
sehingga bidan B berubah pikiran dan bersedia melakukan aborsi. Namun tindakan
yang dipilih bidan B dan remaja putri tersebut berakibat fatal dan terjadi
pendarahan hebat pada remaja putri tersebut sehingga remaja putri tersebut
meninggal dunia.
5.
Pengambilan keputusan yang
ditangguhkan, dialihkan pada orang lain yang bertanggung jawab.
Contoh kasus:
Ny.
Dini usia 35 tahun, akan melakukan persalinan multipara dibidan X. Namun
plasenta pada kandungan Ny. Dini menutupi jalan lahir normal sehingga kandungan
Ny. Dini harus dilahirkan secara seksio caesaria. Tetapi bidan X tidak dapat
melakukan tindakan tersebut karena tindakan seperti itu sudah melanggar batasan
kerja bidan. Jadi, bidan X langsung melakukan tindakan untuk merujuk Ny. Dini
ke Rumah Sakit dan memindahkan tanggung jawab bidan X kepada tenaga kesehatan
di Rumah Sakit tersebut.
6.
Pengambilan keputusan secara
berhati-hati, berpikir baik-baik, mempertimbangkan berbagai pilihan.
Contoh kasus:
Seorang
ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi yang menahun atau
mempunyai penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik bagi calon
ibu maupun bagi janin yang sedang dikandungnya. Bidan A mempertimbangkan
berbagai pilihan untuk mengaborsi, tetap melakukan persalinan normal atau
melakukan seksio caesaria. Namun, bidan A memilih aborsi terapeutik atau
pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medis agar ibu hamil
tersebut dapat diselamatkan. Namun semua ini dilakukan atas dasar pertimbangan
medis yang akurat.
K. Tips pengambilan keputusan
dalam keadaan kritis :
1.
Identifikasi dan tegaskan apa masalahnya,
baik oleh sendiri atau dengan orang lain.
2.
Tetapkan hasil apa yang diinginkan.
3.
Uji kesesuaian dari setiap solusi yang ada.
4.
Pilih solusi yang lebih baik.
5.
Laksanakan tindakan tanpa ada keterlambatan.
L. Menghadapi
Masalah Etik Moral Dan Dilema Dalam Praktek Kebidanan
Menurut Daryl Koehn (1994) bidan dikataka profesional
bila dapat menerapkan etika dalam menjalankan praktik. Bidan ada dalam posisi
baik yaitu memfasilitasi pilihan klien dan membutuhkan peningkatan pengetahuan
tentang etika untuk menetapkan dalam strategi praktik kebidanan
MASALAH –
MASALAH ETIK MORAL YANG MUNGKIN TERJADI DALAM PRAKTEK KEBIDANAN
1.
Masalah Etik
Moral Yang Mungkin Terjadi
Bidan harus memahami dan mengerti situasi etik moral, yaitu :
·
Untuk melakukan tindakan yang tepat dan
berguna.
·
Untuk mengetahui masalah yang perlu
diperhatikan
Kesulitan dalam mengatasi situasi :
·
Kerumitan situasi dan keterbatasan
pengetahuan kita
·
Pengertian kita terhadap situasi sering diperbaruhi
oleh kepentingan, prasangka, dan faktor-faktor subyektif lain
Langkah-langkah penyelesaian masalah :
1)
Melakukan penyelidikan yang memadai
2)
Menggunakan sarana ilmiah dan keterangan
para ahli
3)
Memperluas pandangan tentang situasi
4)
Kepekaan terhadap pekerjaan
5)
Kepekaan terhadap kebutuhan orang lain
Masalah Etik Moral yang mungkin terjadi dalam praktek kebidanan :
1.
Tuntutan bahwa etik adalah hal penting
dalam kebidanan karena :
·
Bertanggung jawab terhadap keputusan
yang dibuat
·
Bertanggung jawab terhadap keputusan
yang diambil
2.
Untuk dapat menjalankan praktik
kebidanan dengan baik dibutuhkan :
-
Pengetahuan klinik yang baik
-
Pengetahuan yang Up to date
-
Memahami issue etik dalam pelayanan
kebidanan
3.
Harapan Bidan dimasa depan :
-
Bidan dikatakan profesional, apabila
menerapkan etika dalam menjalankan praktik kebidanan (Daryl Koehn ,Ground
of Profesional Ethis,1994)
-
Dengan memahami peran
bidan à tanggung jawab profesionalisme terhadap patien atau klien
akan meningkat
-
Bidan berada dalam posisi
baik à memfasilitasi klien dan membutuhkan peningkatan pengetahuan
tentang etika untuk menerapkan dalam strategi praktik kebidanan
Informed
Choice
Informed
choice adalah membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentan alternatif
asuhan yang akan dialaminya. Menurut kode etik kebidanan internasionl (1993)
bidan harus menghormati hak informed choice ibu dan meningkatkan penerimaan ibu
tentang pilihan dalam asuhan dan tanggung jawabnya terhadap hasil dari
pilihannya.
Definisi informasi dalam konteks ini meliputi : informasi
yang sudah lengkap diberikan dan dipahami ibu, tentang pemahaman resiko,
manfaat, keuntungan dan kemungkinan hasil dari tiap pilihannya. Pilihan
(choice) berbeda dengan persetujuan (consent) :
a.
Persetujuan atau consent penting dari sudut pandang
bidan karena berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua
prosedur yang akan dilakukan bidan
b.
Pilihan atau choice penting dari sudut
pandang klien sebagai penerima jasa asuhan kebidanan, yang memberikan gambaran
pemahaman masalah yang sesungguhnya dan menerapkan aspek otonomi pribadi
menentukan “ pilihannya” sendiri.
Choice berrati ada alternatif lain, ada lebih dari satu
pilihan dan klien mengerti perbedaanya sehingga dia dapat menentukan mana yang
disukai atau sesuai dengan kebutuhannya.
Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya. Peran
bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga
menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal
ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993,
bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan
mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.
Sehingga Bagaimana Pilihan Dapat Diperluas dan
Menghindari Konflik
1.
Memberi informai yang lengkap pada ibu,
informasi yang jujur, tidak bias dan dapat dipahami oleh ibu, menggunakan
alternatif media ataupun yang lain, sebaiknya tatap muka.
2.
Bidan dan tenaga kesehatan lain perlu belajar
untuk membantu ibu menggunakan haknya dan menerima tanggungjawab keputusan yang
diambil. Hal ini dapat diterima secara etika dan menjamin bahwa tenaga
kesehatan sudah memberikan asuhan yang terbaik dan memastikan ibu sudah
diberikan informsi yang lengkap tentang dampak dari keputusan mereka
3.
Untuk pemegang kebijakan pelayanan kesehatan
perlu merencanakan, mengembangkan sumber daya, memonitor perkembangan protokol
dan petunjuk teknis baik di tingkat daerah, propinsi untuk semua kelompok
tenaga pemberi pelayanan bagi ibu.
4.
Menjaga fokus asuhan pada ibu dan evidence
based, diharapkan konflik dapat ditekan serendah mungkin.
5.
Tidak perlu takut akan konflik tetapi
mengganggapnya sebagai sutu kesempatan untuk saling memberi dan mungkin suatu
penilaian ulang yang obyektif bermitra dengan wanita dari sistem asuhan dan
tekanan positif pada perubahan
Beberapa
Jenis Pelayanan Yang Dapat Dipilih Klien
a)
Bentuk pemeriksaan ANC dan skrening
laboratorium ANC
b)
Tempat melahirkan
c)
Masuk ke kamar bersalin pada tahap awal
persalinan.
d)
Di dampingi waktu melahirkan
e)
Metode monitor djj
f)
Augmentasi, stimulasi, induksi
g)
Mobilisasi atau posisi saat persalinan
h)
Pemakaian analgesia
i)
Episiotomi
j)
Pemecahan ketuban
k)
Penolong persalinan
l)
Keterlibatan suami pada waktu
melahirkan
m)
Teknik pemberian minuman pada bayi
n)
Metode kontrasepsi
Informed consent
Sejarah Informed Consent
Informed consent menjadi kewajiban bagi tenaga kesehatan
dalam melakukan tindakan medis di Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 1960.
Sejarah informed consent berawal di revolusi Perancis, sejak Rousseau pada
tahun 1780 mencetuskan “Declaration de droit de I’homme et du citoyen”
(pernyataan hak seseorang dan hak warga negara). Pada 1791, Assemble e
Nationale merumuskan pernyataan itu dengan semboyan “Liberte, Egalite,
Fraternite” (Kemerdekaan, Kesamaan, Persaudaraan).1 Presiden Roosevelt Pada
tahun 1942 dalam Sidang Umum PBB mengemukaan gagasan, antara lain: bebas
berbicara dan berpikir, bebas beragama, bebas dari ketakutan, dan bebas dari
kekurangan dan kemiskinan. Kemudian pada tahun 1948 General Assemble UNO
menyempurnakannya dan menyatakan “Universal Declaration of Human Rights”
berasaskan self determination. Setelah itu, pada tahun 1972 diterbitkan
American Bill of Right. Masyarakat ekonomi Eropa pada tahun 1979 menerbitkan
“Charter of Hospital Patients”, dan “The Rights of Hospital Patiens”.
Declaration of Lisbon (1981) dan
Patient`s Bill of Right (American Hospital Association, 1972), menyatakan bahwa
“pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak untuk menerima
informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”.
Hal ini berhubungan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self
determination) sebagai dasar hak asasi manusia, dan hak atas informasi yang
dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang akan dilakukan
terhadap dirinya.
Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan
suatu konsep yang relatif masih baru dalam sejarah etika medis. Secara histori
konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara formal ditegaskan hanya
setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari apa
yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat
perang zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap
kisah-kisah yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai
kelinci percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg,
prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis
(Sudarminta, J. 2001).
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed
consent juga berkaitan dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan
tertentu pada tubuh pasien yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus
tersebut dipandang tidak dapat diterima lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan.
Mengingat pentingnya informed consent dalam pelayanan medis, maka dalam salah
satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan etis untuk
Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat pernyataan sebagai
berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua
pilihan yang berhubungan dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia
adalah pembuat keputusan pertama, orang yang diandaikan memprakarsai keputusan
berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya. Sedangkan pembuat keputusan
sekunder lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika secara hukum pasien tidak
mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang pelaku yang lain yang
menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau sebelumnya pasien
telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk berusaha menentukan apa
yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin, berusaha
dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga
merupakan pembuat keputusan kedua, dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan
dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan
nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus mengakui serangkai
tanggung jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan bertanggung jawab
untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan dukungan yang
memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang dilandasi
pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa
bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting dalam
perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed consent haruslah
diupayakan untuk meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama
melindungi rumah sakit dan petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan
hukum.
A. Pengertian
·
Informed consent
adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan, seperti
operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap
tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan.
·
Informed consent adalah
persetujauan yang diberikan pasien atau wali nya yang berhal atas terhadap
bidan, untuk melakukan suatu tindakan kebidanan kepada pasien setelah
memeperoleh informasi lengkap dan dipahami mengenai tindakan yang akan
dilakukan.
·
Informed consent
merupakan suatu proses.
·
Informed consent
bukan hanya suatu formulir atau selemabr kertas, tetapi bukti jaminan informed
consent telah terjadi
·
Merupakan dialog
antara bidan dengan pasien didasari keterbukaan akal pikiran, dengan bentuk
biokratisasi penandatangan formulir.
·
Informed consent berrati pernyataan kesediaan atau pernyataan
penolakan setelah mendapat informasi secukupnya sehingga yang diberi informasi
sudah cukup mengerti akan segala akibat dari tindakan yang akan dilakukan
terhadapnya sebelum ia mengambil keputusan.
·
Berperan mencegah
konfli etik tetapi tidak mengatasi masalh etik, tuntutan, pada intinya adalah
bidan harus bebrbuar yang terbaik bagi pasien atau kline.
·
Informed consent
merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk
memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien
dapat membuat pilihan.
B. Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap
tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada
dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap
suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa
resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).
C.
Komponen penting dalam Informed Consent
Komponen penting yang harus dipahami pada suatu
consent atau persetujuan menurut Culver and Gert adalah :
1.
Sukarela (Voluntariness). Sukarela mengandung makna
bahwa pilihan yang dibuat adalah atas dasar sukarela tanpa ada paksaan didasari
informasi dan kompetensi. Sehingga pelaksanaan sukarela harus memenuhi unsusr
informasi yang diberikan sejelas-jelasnya.
2.
Informasi (Information). Jika pasien tidak tahu atau
sulit untuk dapat mendeskripsikan keputusan. Dalam berbagai kode etik pelayanan
kesehatan bahwa informasi yang lengkap dibutuhkan agar mampu membuat keputusan
yang tepat. Kurangnya informasi atau diskusi tentang resiko,efek samping
tindakan, akan membuat pasien sulit mengambil keputusan, bahkan ada rasa cemas
dan bingung.
3.
Kompetensi(Competence). Dalam konteks consent
kompetensi bermakna suatu pemahaman bahwa seseorang membutuhkan sesuatu hal
untuk mampu membuat keputusan dengan tepat, juga membutuhkan banyak informasi.
4.
Keputusan (Decision). Pengambilan keputusan merupakan
suatu proses, dimana merupakan persetujuan tanpa refleksi. Pembuatan keputusan
merupakan persetujuan tanpa refleksi. Pembuatan keputusan merupakan tahap
terakhir proses pemberian persetujuan. Keputusan penolakan pasien terhadap
suatu tindakan harus divalidasi lagi apakah karena pasien kurang kompetensi.
Jika pasien menerima suatu tindakan senyaman mungkin.
D.
Dasar Hukum informed consent
1) Diatur dalam Registrasi dan Praktik bidan pada Kepmenkes
no. 900/2002 Pasal 25
a) Ayat (1) Bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai
dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta
dalam memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi.
b) Di samping ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bidan dalam melaksanakan praktik sesuai dengan kewenangannya harus: a.
menghormati hak pasien; b. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani; c.
menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d.
memberikan informasi tentang pelayanan yang akan diberikan; e. meminta
persetujuan tindakan yang akan dilakukan; f. melakukan catatan medik (medical
record) dengan baik
2)
Diatur dalam Registrasi dan Praktik bidan
pada Kepmenkes no. 900/2002 Bab IX, Sanksi Pasal 42 Bidan yang dengan sengaja :
a. melakukan praktik kebidanan tanpa mndapat pengakuan/adaptasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 dan /atau; b. melakukan praktik kebidanan tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; c. melakukan praktik kebidanan tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) ayat (2);
dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan.
3)
Pasal 53 pada UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menetapkan sebagai
berikut:
a) Ayat 2, Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
b) Ayat 4, Ketentuan mengenai standar profesi dan hak pasien sebagaimana
dimaksudkan dalam Ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Penjelasan
Pasal 53 UU No. 23/92 Tentang Kesehatan adalah:
c) Ayat 2, Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai
petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang
berhadapan dengan pasien dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak
pasien. Yang dimaksud dengan hak pasien adalah hak atas informasi, hak untuk
memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat
kedua.
4) Secara hukum informed consent berlaku sejak tahun 1981, PP No. 8 Tahun
1981.
5) Informed consent dikukuhkan menjadi lembaga
hukum, yaitu dengan diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 Tahun
1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, lebih jelasnya baca dilamppiran. Dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 Tahun 1989 ini dalam Bab I, Ketentuan Umum,
Pasal 1 (a) menetapkan apa yang dimaksud Informed Consent;
Persetujuan tindakan medic adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.
E. Ada dua dimensi dalam proses informed concent :
1. Dimensi yang menyangkut hukum dalam
hal ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang
berperilaku memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :
a) Keterbukaan informasi dari bidan kepada
pasien
b) Informasi tersebut harus
dimengerti pasien
c) Memberikan kesempatan kepada
pasien untuk memberikan kesempatan yang baik
2. Dimensi yang meyangkut etik
Dari proses informed concent
terkandung nilai etik sebagai berikut :
a) Menghargai kemandirian/otonomi
pasien
b) Tidak melakukan intervensi
melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai dengan informasi yang
telah dibutuhkan
F.
Syarat Sahnya Perjanjian Atau Consent (KUHP 1320)
1.
Adanya Kata Sepakat. Sepakat dari pihak bidan maupun
klien tanpa paksaan, tipuan maupun kekeliruan setelah diberi informasi
sejelas – jelasnya.
2.
Kecakapan. Artinya seseorang memiliki kecakapan
memberikan persetujuan, jika orang itu mampu melakukan tindakan hukum, dewasa
dan tidak gila. Bila pasien seorang anak, yang berhak memberikan persetujuan
adalah orangtuanya, pasien dalam keadaan sakit tidak dapat berpikir sempurna
shg ia tidak dapat memberikan persetujuan untuk dirinya sendiri, seandainya
dalam keadaan terpaksa tidak ada keluarganya dan persetujuan diberikan oleh
pasien sendiri dan bidan gagal dalam melakukan tindaknnya maka persetujuan
tersebut dianggap tidak sah.
Contoh : Bila ibu dalam keadaan inpartu
mengalami kesakitan hebat, maka ia tidak dapat berpikir dengan baik, maka
persetujuan tindakan bidan dapat diberikan oleh suaminya, bila tidak ada
keluarga atau suaminya dan bidan memaksa ibu untuk memberikan persetujuan
melakukan tindakan dan pada saat pelaksanaan tindakan tersebut gagal, maka
persetujuan dianggap tidak sah.
3.
Suatu Hal Tertentu. Obyek persetujuan antara bidan dan
pasien harus disebutkan dengan jelas dan terinci. Misal : Dalam persetujuan
ditulis dengan jelas identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, alamat,
nama suami, atau wali. Kemudian yang terpenting harus dilampirkan identitas
yang membuat persetujuan
4.
Suatu Sebab Yang Halal. Isi persetujuan tidak boleh
bertentangan dengan undang – undang, tata tertib, kesusilaan, norma dan hukum.
contoh : abortus provocatus pada seorang pasien oleh bidan, meskipun
mendapatkan persetujuan si pasien dan persetujuan telah disepakati kedua belah
pihak tetapi dianggap tidak sah sehingga dapat dibatalkan demi hukum
G.
Segi Hukum Informed Consent
·
Pernyataan dalam
informed consent menyatakan kehendak kedua belah pihak, yaitu pasien menyatakan
setuju atas tindakan yang dilakukan bidan dan formulir persetujuan
ditandatangani kedua belah pihak, maka persetujuan tersebut mengikat dan tidak
dapat dibatalkan oleh salah satu pihak.
·
Informed consent tidak
meniadakan atau mencegah diadakannya tuntutan dimuka pengadilan atau membebaskan
RS atau RB terhadap tanggungjawabnya bila ada kelalaian. Hanya dapat digunakan
sebagai bukti tertulis adan adanya izin atau persetujuan dari pasien terhadap
diadakannya tindakan.
·
Formulir yang
ditandatangani pasien atau wali pada umumnya berbunyi segala akibat dari
tindakan akan menjadi tanggung jawab pasien sendiri dan tidak menjadi tanggung
jawab bidan atau rumah bersalin. Rumusan tersebut secara hukum tidak mempunyai
kekuatan hukum, mengingat seseorang tidak dapat membebaskan diri dari tanggung
jawabnya atas kesalahan yang belum dibuat.
H. Bentuk Informed Consent
Ada dua bentuk informed consent (Febiyanti Rizky, 2011)
1. Implied constructive Consent (Keadaan Biasa). Tindakan
yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum,
sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah
untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
2. Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat).
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a) Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk
tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam
PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung
resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed
consent)
b) Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan
oleh pihak pasien
c) Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui
isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya,
langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan
dilakukan terhadap dirinya.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung
kemungkinan bagi pasien untuk menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan
disertai penjelasan atau pemberian informasi seperlunya oleh tenaga medis
(Sudarminta, J. 2001). Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed
consent dapat diberikan oleh pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L.
Beauchamp dan James F. Childress, dalam pengertian informed consent terkandung
empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi yang perlu diberikan dan dua
lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu
adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan
kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok
yang biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu
perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga
kesehata lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu
persetujuan informed.
Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa
standar pembeberan, yakni:
1. Standar praktek profesional (the professional
practice standard)
2. Standar pertimbangan akal sehat (the
reasonable person standard)
3. Standar subyektif atau orang perorang (the
subjective standard)
I.
Masalah Yang Lazim Terjadi Pada Informed Consent
1) Pengertian kemampuan secara hukum dari
orang yang akan menjalani tindakan, serta siapa yang berhak menandatangani.
2) Masalah wali yang sah. Timbul apabila
pasien atauibu tidak mampu secar hukum untuk menyatakan persetujuannya.
3) Masalah informasi yang diberikan, seberapa
jauh informasi dianggap telah dijelaskan dengan cukup jelas, tetapi juga tidak
terlalu rinci sehingga dianggap menakut – nakuti
4) Dalam memberikan informasi apakah
diperlukan saksi, apabila diperlukan apakah saksi perlu menanda tanagani form
yang ada. Bagaimana menentukan saksi?
5) Dalam keadaan darurat, misal kasus
perdarahan pada bumil dan kelaurga belum bisa dihubungi, dalam keadaan begini
siapa yang berhak memberikan persetujuan, sementara pasien perlu segera
ditolong.
Contoh-contoh Informed
Consent secara Tulis dan Lisan21/03/2017
1. Contoh
Informed Consent secara Tertulis
Persetujuan Tertulis,
biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung risiko besar,
sebagaimana ditegaskan dalam PERMENKES No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan
medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan
tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi adekuat tentang
perlunya tindakan medis serta risiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi
informed consent).
SURAT
PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya
yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl
Lahir :
Alamat
:
Telp :
Menyatakan
dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang
tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl
lahir :
Dengan
ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis
berupa…………………………………………………………………………….
Dari
penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan
dengan penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan
kemungkinana pasca tindakan yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang
diberikan.
Jakarta,………………….20……
Dokter/Pelaksana,
Yang membuat pernyataan,
Ttd
Ttd
(……………………)
(…………………………..)
*Coret
yang tidak perlu
2. Contoh
Informed Consent secara Lisan
Persetujuan Lisan, biasanya
diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung
risiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.
Contohnya, ketika bidan melakukan komunikasi kepada psien
untuk melakukan tindakan keperawatan yaitu memandikan klien dan perawatn
menyanyakan kepada klien dan keluarga mengenai kesediaan untuk dilakukan
tindakan. Kemudian pasien atau keluarga pun hanya menyetujui dengan lisan tanpa
harus dilakukan persetujuan dengan tulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar