Rabu, 05 April 2017

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

HAND OUT PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PELAYANAN KEBIDANAN


Mata Kuliah                   : Etika Profesi Dan Hukum Kesehatan
Topik                            : Pengambilan Keputusan Dalam Pelayanan Kebidanan
Sub Topik                     :
1.       Pengambilan keputusan dalam menghadapi dilema etik/moral pelayanan kebidanan
2.       Masalah-masalah etik moral yang mungkin terjadi dalam praktek bidan
3.       Langkah-langkah penyelesaian masalah
4.       Informed choice
5.       Informed consent
Sasaran                        : Tingkat I Semester II
Dosen                           : Fitria DN

OBJEK PRILAKU SISWA
Setelah perkuliah ini, diharapkan agar mahasiswa mampu :
1.       Pengambilan keputusan dalam menghadapi dilema etik/moral pelayanan kebidanan
2.       Masalah-masalah etik moral yang mungkin terjadi dalam praktek bidan
3.       Langkah-langkah penyelesaian masalah
4.       Informed choice
5.       Informed consent

REFRENSI
1.       Karlina Novvi, dkk. 2015.  “Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan “. In Media. Bogor
2.       Puji Wahyuningsih, Heni. 2008. Etika Profesi Kebidanan. Fitramaya. Yogyakarta.

                                                                          
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
                                                                          
          Pengambilan keputusan merupakan kemampuan mendasar bagi praktisi kesehatan, khususnya dalam asuhan keperawatan dan kebidanan. Tidak hanya berpengaruh pada proses pengelolaan asuhan keperawatan dan kebidanan, tetapi penting untuk meningkatkan kemampuan merencanakan perubahan. Perawat dan bidan pada semua tingkatan posisi klinis harus memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan yang efektif, baik sebagai pelaksana/staf maupun sebagai pemimpin. Pengambilan keputusan bukan merupakan bentuk sinonim.
          Pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan membutuhkan pemikiran kritis dan analisis yang dapat ditingkatkan dalam praktek. Pengambilan keputusan merupakan upaya pencapaian tujuan dengan menggunakan proses yang sistematis dalam memilih alternatif. Pemecahan masalah termasuk dalam langkah proses pengambilan keputusan, yang difokuskan untuk mencoba memecahkan masalah secepatnya. Masalah dapat digambarkan sebagai kesenjangan diantara “apa yang ada dan apa yang seharusnya ada”. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang efektif diprediksi bahwa individu harus memiliki kemampuan berfikir kritis dan mengembangkan dirinya dengan adanya bimbingan dan role model di lingkungan kerjanya.


A.     Pengertian Pengambilan Keputusan
          Proses pengambilan keputusan merupakan bagian dasar dan integral dalam praktik suatu profesi dan keberadaanya sangat penting karena akan menentukan tindakan selanjutnya.
          Menurut George R.Terry, pengambilan keputusan adalah memilih alternatif yang ada. Ada 5 (lima) hal pokok dalam pengambilan keputusan:
1.       Intuisi berdasarkan perasaan, lebih subyektif dan mudah terpengaruh
Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi atau perasaan lebih bersifat subjektif yaitu mudah terkena sugesti, pengaruh luar, dan faktor kejiwaan lain. Sifat subjektif dari keputusuan intuitif ini terdapat beberapa keuntungan, yaitu :
·         Pengambilan keputusan oleh satu pihak sehingga mudah untuk memutuskan.
·         Keputusan intuitif lebih tepat untuk masalah-masalah yang bersifat kemanusiaan.
                Pengambilan keputusan yang berdasarkan intuisi membutuhkan waktu yang singkat Untuk masalah-masalah yang dampaknya terbatas, pada umumnya pengambilan keputusan yang bersifat intuitif akan memberikan kepuasan. Akan tetapi, pengambilan keputusan ini sulit diukur kebenarannya karena kesulitan mencari pembandingnya dengan kata lain hal ini diakibatkan pengambilan keputusan intuitif hanya diambil oleh satu pihak saja sehingga hal-hal yang lain sering diabaikan.

2.       Pengalaman mewarnai pengetahuan praktis, seringnya terpapar suatu kasus meningkatkan kemampuan mengambil keputusan terhadap nsuatu kasus. Dalam hal tersebut, pengalaman memang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah. Keputusan yang berdasarkan pengalaman sangat bermanfaat bagi pengetahuan praktis. Pengalaman dan kemampuan untuk memperkirakan apa yang menjadi latar belakang masalah dan bagaimana arah penyelesaiannya sangat membantu dalam memudahkan pemecaha masalah.
3.       Fakta, keputusan lebih riel, valit dan baik.
Keputusan yang berdasarkan sejumlah fakta, data atau informasi yang cukup itu memang merupakan keputusan yang baik dan solid, namun untuk mendapatkan informasi yang cukup itu sangat sulit.
4.       Wewenang lebih bersifat rutinitas
Keputusan yang berdasarkan pada wewenang semata maka akan menimbulkan sifat rutin dan mengasosiasikan dengan praktik dictatorial. Keputusan berdasarkan wewenang kadangkala oleh pembuat keputusan sering melewati permasahan yang seharusnya dipecahkan justru menjadi kabur atau kurang jelas
5.       Rasional, keputusan bersifat obyektif, trasparan, konsisten. Keputusan yang bersifat rasional  berkaitan dengan daya guna. Masalah – masalah yang dihadapi merupakan masalah yang memerlukan pemecahan rasional. Keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan rasional lebih bersifat objektif. Dalam masyarakat, keputusan yang rasional dapat diukur apabila kepuasan optimal masyarakat dapat terlaksana dalam batas-batas nilai masyarakat yang di akui saat itu.


B.     FUNGSI DAN TUJUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
*Fungsi Pengambilan Keputusan individual atau kelompok baik secara institusional ataupun organisasional, sifatnya futuristik.

*Tujuan Pengambilan Keputusan tujuan yang bersifat tunggal (hanya satu masalah dan tidak berkaitan dengan masalah lain) Tujuan yang bersifat ganda (masalah saling berkaitan, dapat bersifat kontradiktif ataupun tidak kontradiktif).
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam organisasi itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan organisasinya yang dimana diinginkan semua kegiatan itu dapat berjalan lancer dan tujuan dapat dicapai dengan mudah dan efisien. Namun, kerap kali terjadi hambatan-hambatan dalam melaksanakan kegiatan. Ini merupakan masalah yang hatus dipecahkan oleh pimpinan organisasi. Pengambilan keputusan dimaksudkan untuk memecahkan masalah tersebut.

C.     Teori-Teori Pengambilan Keputusan 
1.       Teori  Utilitarisme: Ketika keputusan diambil, memaksimalkan kesenangan, meminimalkan ketidaksenangan. Dipercayai bahwa semua manusia memiliki satu kesamaan, mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Seseorang yang melakukan suatu aktifitas akan, pada akhirnya, membawa ,ereka pada kesenngan dan menghindari segala sesuatu yang akan menimbulkan ketidaksenangan.Teori ini dibagi menjadi menjadi 2 bentuk yaitu :
·         Utilitarisme Perbuatan (Act-Utilitarianism). Pada bentuk ini setiap perbuatan dinilai berdasarkan konsekuensinya. Maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Bentham, sampai pada the principles of Utility yang berbunyi “The Greatest Happines of The Great Number”. Contoh kasus:
Pelaksanaan imunisasi PIN setiap bulan Oktober – November untuk mengeliminasi penyakit Polio di Indonesia.
·         Utilitarianisme Aturan (Rule-Utilitarianism) seorang filsuf inggris-amerika (Stephen T) menegaskan bahwa prinsip kegunaan tidak harus diterapkan atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan yang mengatur perbuatan kita. Contoh kasus : Kasus aborsi teurapeutik yang diberlakukan kepada pasien dengan kondisi tertentu, karena di suatu agama dan hokum tidak dibenarkan tapi ketika kondisi ibu tersebut benar-benar akan mengancam jiwa ibu maka abortus terapeutikus akan sangat dibutuhkan.
2.       Teori Deontology : Menurut Immanuel Kant: sesuatu dikatakan baik bila bertindak baik. Contoh bila berjanji ditepati, bila pinjam hrus dikembalikan. Deontologi berasal dari kata “deon” yang berarti kewajiban. Teori deontologi disusun oleh Immanuel Kant (seorang Methaphysician) pada abad 18. Kant memformulasikan teori ini sebagai istilah lain dari hal-hal benar yang harus dilakukan tanpa mempertimbangkan konsekwensinya. Teori Kants merefleksikan bahwa bertindak secara moral memiliki kaitan dengan penghormatan terhadap tugas. Dalam teori ini. Aturan-aturan moral diaplikasikan pada setiap orang.
·         Contohnya : seseorang tidak boleh berbohong pada kondisi apapun (Henry,1996). Kant percaya bahwa rasionalisasi yang mengikat hal ini adalah yang dia sebut sebagai hukum moral tertinggi (Gillon,1992).
 Sebuah tindakan dapat dikatakan bermoral hanya bila diterima oleh setiap orang sebagai hukum yang universal
·         Kant percaya bahwa manusia adalah makhluk hidup yang dapat menjadi seseorang yang berotonomi dan memiliki moral rasional dan harus dihormati (Edwards 1996). Contoh kasus :
Ketika seorang harus ke suatu tempat, lalu datang seorang bapak yang minta pertolongan bidan agar dapat membantu kelahiran bayinya, maka bidan harus melakukan kewajiban yang dilakukan sebagai seorang bidan.
3.       Teori Hedonisme: Menurut Aristippos , sesui kodratnya, setiap  manusia mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Hedone dalam bahasa Yunani berarti kesenangan. Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433 – 355 SM), seorang murid Socrates. Socrates telah bertanya tentang tujuan akhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia,tapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu dan hanya mengeritik jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh orang lain. Aristippos menjawab yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Filsuf lain yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros ( 341 – 270 sm ) yang memimpin sebuah sekolah filsafat di Athena. Epikuros pun melihat kesenangan (hedone) sebagai tujuan hidup manusia. Seorang filsuf Inggris, John Locke (1632 – 1794) mengemukakan “kita sebut baik apa yang menyebabkan atau meningkatkan kesenangan, sebaliknya kita namakan jahat apa yang dapat mengakibatkan atau meningkatkan ketidak senangan apa saja atau mengurangi kesenangan apa saja dalam diri kita”.
4.       Teori Eudemonisme: Menurut Filsuf Yunani Aristoteles , bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan, ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles (384 – 322 sm). Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap Teori Eudomonisme Pandangan ini berasal dari filsuf yunani besar, Aristoteles (384 – 322 sm). Dalam bukunya, Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai sesuatu yang baik bagi kita. Sering sekali kita mencari tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain lagi. Timbul pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan karena sesuatu yang lain lagi, apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut aristoteles semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini, dalam terminology modern kita bisa mengatakan: makna terakhir hidup manusia, adalah kebahagiaan (eudaimonia). Contoh kasus : Ketika seorang bidan di desa menghadapi kasus kegawatdaruratan dalam situasi bingung, takut dan cemas tapi tetap harus mampu melaksanakan penatalaksanaan untuk mencegah kondisi menjadi lebih buruk.
D.     Bentuk pengambilan keputusan :
·         Strategi : dipengaruhi oleh kebijakan organisasi atau pimpinan, rencana dan masa depan, rencana bisnis dan lain-lain.
·         Cara kerja : yang dipengaruhi pelayanan kebidanan di dunia, klinik, dan komunitas.
·         Individu dan profesi : dilakukan oleh bidan yang dipengaruhi oleh standart praktik kebidanan.

E.      Pendekatan tradisional dalam pengambilan keputusan :
1)       Mengenal dan mengidentifikasi masalah
2)       Menegaskan masalah dengan menunjukan hubungan antara masa lalu dan sekarang.
3)       Memperjelas hasil prioritas yang ingin dicapai.
4)       Mempertimbangkan pilihan yang ada.
5)       Mengevaluasi pilihan tersebut.
6)       Memilih solusi dan menetapkan atau melaksanakannya.

F.      Proses Pengambilan Keputusan
1)       Identifikasi masalah. Dalam hal ini pemimpin diharapkan mampu mengindentifikasikan masalah yang ada di dalam suatu organisasi.
2)       Pengumpulan dan penganalisis data. Pemimpin diharapkan dapat mengumpulkan dan menganalisis data yang dapat membantu memecahkan masalah yang ada
3)       Pembuatan alternatif-alternatif kebijakan. Setelah masalah dirinci dengan tepat dan tersusun baik, maka perlu dipikirkan cara-cara pemecahannya.
4)       Pemilihan salah satu alternatif terbaik. Pemilihan satu alternatif yang dianggap paling tepat untuk memecahkan masalah tertentu dilakukan atas dasar pertimbangan yang matang atau rekomendasi. Dalam pemilihan satu alternatif dibutuhkan waktu yang lama karena hal ini menentukan alternative yang dipakai akan berhasil atau sebaliknya.
5)       Pelaksanaan keputusan. Dalam pelaksanaan keputusan berarti seorang pemimpin harus mampu menerima dampak yang positif atau negatif. Ketika menerima dampak yang negatif, pemimpin harus juga mempunyai alternatif yang lain.
6)       Pemantauan dan pengevaluasian hasil pelaksanaan. Setelah keputusan dijalankan seharusnya pimpinan dapat mengukur dampak dari keputusan yang telah dibuat.


G.     Faktor-Faktor  Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
1)       Faktor fisik, didasarkan pada rasa yang dialami oleh tubuh sepeti rasa sakit, tidak nyaman dan kenikmatan.
2)       emosional, didasarkan pada perasaan atau sikap.
3)       Rasional, didasarkan pada pengetahuan
4)       Praktik, didasarkan pada keterampilan individual dan kemampuan dalam melaksanakanya.
5)       Interpersonal, didasarkan pada pengrauh jarigan sosial yang ada
6)       Struktural, didasarkan pada lingkup sosial,ekonomi dan politik.

H.     Dasar Pengambilan keputusan :
1.       Ketidak  sanggupan ( bersifat segera)
2.       Keterpaksaaan karena suatu krisis, yang menuntut sesuatu unutuk segera dilakukan.

I.        Pengambilan keputusan yang etis, Ciri -  ciri nya:
1.       Mempunyai pertimbangan yang benar atau salah
2.       Sering menyangkut pilihn yang sukar
3.       Tidak mungkin dielakkan
4.       Dipengaruhi oleh norma, situasi, iman,lingkungan sosial


J.       Tipe-tipe/jenis-jenis Pengambilan Keputusan
1.       Pengambilan keputusan untuk tidak berbuat apa-apa karena ketidaksanggupan atau merasa tidak sanggup.
Contoh kasus:
            Di sebuah desa terdapat seorang bidan yang bernama bidan C, bidan tersebut baru lulusan sekolah kebidanan tahun yang lalu, tetapi bidan C sudah membuka klinik praktik mandiri. Pada suatu ketika, ada ibu hamil yang mendatangi bidan C tersebut dalam keadaan pendarahan hebat. Karena pengalaman yang belum cukup banyak, bidan C bingung dan ragu-ragu harus melakukan apa karena bidan C baru pertama kali melayani pasien pendarahan di klinik praktik mandiri miliknya sehingga bidan C bingung untuk menentukan pilihan apakah harus merujuknya ke Rumah Sakit atau menolong persalinan ibu hamil tersebut di klinik miliknya. Karena terlalu lama ia memikirkan tindakan, maka ibu hamil tersebut sudah kehabisan darah dan sudah tidak bisa untuk ditolong lagi.
2.       Pengambilan keputusan intuitif, sifatnya segera langsung diputuskan karena keputusan tersebut dirasa paling tepat.
Contoh kasus:
Di sebuah desa terpencil seorang ibu mengalami pendarahan postpartum setelah melahirkan bayinya yang pertama di rumah. Ibu tersebut menolak untuk diberikan suntikkan uterotonika. Bila ditinjau dari hak pasien atas keputusan yang menyangkut dirinya maka bidan bisa saja tidak memberikan suntikkan karena kemauan pasien. Tetapi bidan akan berhadapan dengan masalah yang lebih rumit bila terjadi pendarahan hebat dan harus diupayakan pertolongan untuk merujuk pasien, dan yang lebih fatal lagi bila akhirnya pasien meninggal karena pendarahan. Dalam hal ini bisa dikatakan tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Walaupun bidan memaksa pasiennya untuk disuntik, mungkin itulah keputusan yang terbaik yang harus ia lakukan.
3.       Pengambilan keputusan yang terpaksa karena harus segera dilaksanakan.
Contoh kasus:
Ny. Michel usia 25 tahun, hamil pertama yang akan melahirkan di bidan X. Ny. Michel tinggal di Amerika bersama seorang suami. Ny. Michel pendarahan hebat dan letak janinnya sungsang. Namun, saat Ny. Michel akan dirujuk ke Rumah Sakit, ternyata terjadi badai salju di luar sehingga bidan X tidak dapat melakukan apa-apa. Ny. Michel pun meninggal dan bayi yang masih di dalam kandungannya tersebut saat diperiksa masih berdetak denyut jantungnya. Lalu bidan X membicarakan hal ini pada suami Ny. Michel, dan suaminya pun memaksa bidan X untuk melakukan sesuatu, yaitu seksio caesaria karena ia tidak ingin anaknya meninggal juga. Awalnya bidan X tidak ingin melakukan pelanggaran ini, namun jika bidan X tidak cepat mengambil keputusan, maka bayi yang ada di dalam kandungan Ny. Michel akan ikut meninggal. Sehingga dengan terpaksa bidan X melakukan seksio caesaria di rumahnya dengan menggunakan pisau dapur dalam keadaan Ny. Michel telah meninggal. Jadi, bayi tersebut dapat diselamatkan dan Ny. Michel telah meninggal dunia dari sebelum bidan X melakukan seksio caesaria pada Ny. Michel.    
4.       Pengambilan keputusan yang reaktif. Sering kali dilaksanakan dalam situasi marah-marah atau tergesa-gesa.
Contoh kasus:
            Seorang remaja putri dengan usia kandungan baru 8 minggu, ia hamil di luar nikah dan pasangannya pun tidak ingin mempertanggung jawabkan apa yang telah mereka perbuat. Remaja putri tersebut datang ke bidan B berniat untuk menggugurkan kandungannya tersebut. Dengan keadaan emosional yang meningkat, remaja putri tersebut tidak dapat berpikir panjang sehingga menyuruh bidan untuk melakukan aborsi pada kandungannya. Awalnya bidan B tidak ingin melakukannya, namun remaja putri tersebut memaksa dan mengiming”kan bayaran dengan harga tinggi sehingga bidan B berubah pikiran dan bersedia melakukan aborsi. Namun tindakan yang dipilih bidan B dan remaja putri tersebut berakibat fatal dan terjadi pendarahan hebat pada remaja putri tersebut sehingga remaja putri tersebut meninggal dunia.
5.       Pengambilan keputusan yang ditangguhkan, dialihkan pada orang lain yang bertanggung jawab.
Contoh kasus:
            Ny. Dini usia 35 tahun, akan melakukan persalinan multipara dibidan X. Namun plasenta pada kandungan Ny. Dini menutupi jalan lahir normal sehingga kandungan Ny. Dini harus dilahirkan secara seksio caesaria. Tetapi bidan X tidak dapat melakukan tindakan tersebut karena tindakan seperti itu sudah melanggar batasan kerja bidan. Jadi, bidan X langsung melakukan tindakan untuk merujuk Ny. Dini ke Rumah Sakit dan memindahkan tanggung jawab bidan X kepada tenaga kesehatan di Rumah Sakit tersebut.
6.       Pengambilan keputusan secara berhati-hati, berpikir baik-baik, mempertimbangkan berbagai pilihan.
Contoh kasus:
            Seorang ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi yang menahun atau mempunyai penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik bagi calon ibu maupun bagi janin yang sedang dikandungnya. Bidan A mempertimbangkan berbagai pilihan untuk mengaborsi, tetap melakukan persalinan normal atau melakukan seksio caesaria. Namun, bidan A memilih aborsi terapeutik atau pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medis agar ibu hamil tersebut dapat diselamatkan. Namun semua ini dilakukan atas dasar pertimbangan medis yang akurat. 

K.     Tips pengambilan keputusan dalam keadaan kritis :
1.       Identifikasi dan tegaskan apa masalahnya, baik oleh sendiri atau dengan orang lain.
2.       Tetapkan hasil apa yang diinginkan.
3.       Uji kesesuaian dari setiap solusi yang ada.
4.       Pilih solusi yang lebih baik. 
5.       Laksanakan tindakan tanpa ada keterlambatan.

L.      Menghadapi Masalah Etik Moral Dan Dilema Dalam Praktek Kebidanan
Menurut Daryl Koehn (1994) bidan dikataka profesional bila dapat menerapkan etika dalam menjalankan praktik. Bidan ada dalam posisi baik yaitu memfasilitasi pilihan klien dan membutuhkan peningkatan pengetahuan tentang etika untuk menetapkan dalam strategi praktik kebidanan



MASALAH – MASALAH ETIK MORAL YANG MUNGKIN TERJADI DALAM PRAKTEK KEBIDANAN
1.       Masalah Etik Moral Yang Mungkin Terjadi
Bidan harus memahami dan mengerti situasi etik moral, yaitu :
·         Untuk melakukan tindakan yang tepat dan berguna.
·         Untuk mengetahui masalah yang perlu diperhatikan
Kesulitan dalam mengatasi situasi :
·         Kerumitan situasi dan keterbatasan pengetahuan kita
·         Pengertian kita terhadap situasi sering diperbaruhi oleh kepentingan, prasangka, dan faktor-faktor subyektif lain
Langkah-langkah penyelesaian masalah :
1)     Melakukan penyelidikan yang memadai
2)     Menggunakan sarana ilmiah dan keterangan para ahli
3)     Memperluas pandangan tentang situasi
4)     Kepekaan terhadap pekerjaan
5)     Kepekaan terhadap kebutuhan orang lain

Masalah Etik Moral yang mungkin terjadi dalam praktek kebidanan :
1.       Tuntutan bahwa etik adalah hal penting dalam kebidanan karena :
·         Bertanggung jawab terhadap keputusan yang dibuat
·         Bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil
2.       Untuk dapat menjalankan praktik kebidanan dengan baik dibutuhkan :
-          Pengetahuan klinik yang baik
-          Pengetahuan yang Up to date
-          Memahami issue etik dalam pelayanan kebidanan
3.       Harapan Bidan dimasa depan :
-          Bidan dikatakan profesional, apabila menerapkan etika dalam menjalankan praktik kebidanan (Daryl Koehn ,Ground of Profesional Ethis,1994)
-          Dengan memahami peran bidan à tanggung jawab profesionalisme terhadap patien atau klien akan meningkat
-          Bidan berada dalam posisi baik à memfasilitasi klien dan membutuhkan peningkatan pengetahuan tentang etika untuk menerapkan dalam strategi praktik kebidanan



Informed Choice
            Informed choice adalah membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentan alternatif asuhan yang akan dialaminya. Menurut kode etik kebidanan internasionl (1993) bidan harus menghormati hak informed choice ibu dan meningkatkan penerimaan ibu tentang pilihan dalam asuhan dan tanggung jawabnya terhadap hasil dari pilihannya.
Definisi informasi dalam konteks ini meliputi : informasi yang sudah lengkap diberikan dan dipahami ibu, tentang pemahaman resiko, manfaat, keuntungan dan kemungkinan hasil dari tiap pilihannya. Pilihan (choice) berbeda dengan persetujuan (consent) :
a.       Persetujuan atau consent penting dari sudut pandang bidan karena berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang akan dilakukan bidan
b.       Pilihan atau choice penting dari sudut pandang klien sebagai penerima jasa asuhan kebidanan, yang memberikan gambaran pemahaman masalah yang sesungguhnya dan menerapkan aspek otonomi pribadi menentukan “ pilihannya” sendiri.
Choice berrati ada alternatif lain, ada lebih dari satu pilihan dan klien mengerti perbedaanya sehingga dia dapat menentukan mana yang disukai atau sesuai dengan kebutuhannya.


Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya. Peran bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.

Sehingga Bagaimana Pilihan Dapat Diperluas dan Menghindari Konflik
1.       Memberi informai yang lengkap pada ibu, informasi yang jujur, tidak bias dan dapat dipahami oleh ibu, menggunakan alternatif media ataupun yang lain, sebaiknya tatap muka.
2.       Bidan dan tenaga kesehatan lain perlu belajar untuk membantu ibu menggunakan haknya dan menerima tanggungjawab keputusan yang diambil. Hal ini dapat diterima secara etika dan menjamin bahwa tenaga kesehatan sudah memberikan asuhan yang terbaik dan memastikan ibu sudah diberikan informsi yang lengkap tentang dampak dari keputusan mereka
3.       Untuk pemegang kebijakan pelayanan kesehatan perlu merencanakan, mengembangkan sumber daya, memonitor perkembangan protokol dan petunjuk teknis baik di tingkat daerah, propinsi untuk semua kelompok tenaga pemberi pelayanan bagi ibu.
4.       Menjaga fokus asuhan pada ibu dan evidence based, diharapkan konflik dapat ditekan serendah mungkin.
5.       Tidak perlu takut akan konflik tetapi mengganggapnya sebagai sutu kesempatan untuk saling memberi dan mungkin suatu penilaian ulang yang obyektif bermitra dengan wanita dari sistem asuhan dan tekanan positif pada perubahan

Beberapa Jenis Pelayanan Yang Dapat Dipilih Klien
a)       Bentuk pemeriksaan ANC dan skrening laboratorium ANC
b)       Tempat melahirkan
c)       Masuk ke kamar bersalin pada tahap awal persalinan.
d)       Di dampingi waktu melahirkan
e)       Metode monitor djj
f)        Augmentasi, stimulasi, induksi
g)       Mobilisasi atau posisi saat persalinan
h)       Pemakaian analgesia
i)         Episiotomi 
j)         Pemecahan ketuban 
k)       Penolong persalinan 
l)         Keterlibatan suami pada waktu melahirkan 
m)     Teknik pemberian minuman pada bayi 
n)       Metode kontrasepsi 



          Informed consent
Sejarah Informed Consent
Informed consent menjadi kewajiban bagi tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medis di Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 1960. Sejarah informed consent berawal di revolusi Perancis, sejak Rousseau pada tahun 1780 mencetuskan “Declaration de droit de I’homme et du citoyen” (pernyataan hak seseorang dan hak warga negara). Pada 1791, Assemble e Nationale merumuskan pernyataan itu dengan semboyan “Liberte, Egalite, Fraternite” (Kemerdekaan, Kesamaan, Persaudaraan).1 Presiden Roosevelt Pada tahun 1942 dalam Sidang Umum PBB mengemukaan gagasan, antara lain: bebas berbicara dan berpikir, bebas beragama, bebas dari ketakutan, dan bebas dari kekurangan dan kemiskinan. Kemudian pada tahun 1948 General Assemble UNO menyempurnakannya dan menyatakan “Universal Declaration of Human Rights” berasaskan self determination. Setelah itu, pada tahun 1972 diterbitkan American Bill of Right. Masyarakat ekonomi Eropa pada tahun 1979 menerbitkan “Charter of Hospital Patients”, dan “The Rights of Hospital Patiens”.
Declaration of Lisbon (1981) dan Patient`s Bill of Right (American Hospital Association, 1972), menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik”. Hal ini berhubungan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) sebagai dasar hak asasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih baru dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat perang zaman Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian besar dalma etika biomedis (Sudarminta, J. 2001).
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan dengan kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien yang kompeten tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat diterima lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam pelayanan medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat pernyataan sebagai berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama, orang yang diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika secara hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang pelaku yang lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk berusaha menentukan apa yang kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin, berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan kedua, dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit dan petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.

A.     Pengertian
·         Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan, seperti operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan.
·         Informed consent adalah persetujauan yang diberikan pasien atau wali nya yang berhal atas terhadap bidan, untuk melakukan suatu tindakan kebidanan kepada pasien setelah memeperoleh informasi lengkap dan dipahami mengenai tindakan yang akan dilakukan.
·         Informed consent merupakan suatu proses.
·         Informed consent bukan hanya suatu formulir atau selemabr kertas, tetapi bukti jaminan informed consent telah terjadi
·         Merupakan dialog antara bidan dengan pasien didasari keterbukaan akal pikiran, dengan bentuk biokratisasi penandatangan formulir.
·         Informed consent  berrati pernyataan kesediaan atau pernyataan penolakan setelah mendapat informasi secukupnya sehingga yang diberi informasi sudah cukup mengerti akan segala akibat dari tindakan yang akan dilakukan terhadapnya sebelum ia mengambil keputusan.
·         Berperan mencegah konfli etik tetapi tidak mengatasi masalh etik, tuntutan, pada intinya adalah bidan harus bebrbuar yang terbaik bagi pasien atau kline.
·         Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan.

B.     Tujuan Informed Consent:
1.    Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2.    Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).

C.     Komponen penting dalam Informed Consent
Komponen penting yang harus dipahami pada suatu consent atau persetujuan menurut Culver and Gert adalah :
1.       Sukarela (Voluntariness). Sukarela mengandung makna bahwa pilihan yang dibuat adalah atas dasar sukarela tanpa ada paksaan didasari informasi dan kompetensi. Sehingga pelaksanaan sukarela harus memenuhi unsusr informasi yang diberikan sejelas-jelasnya.
2.       Informasi (Information). Jika pasien tidak tahu atau sulit untuk dapat mendeskripsikan keputusan. Dalam berbagai kode etik pelayanan kesehatan bahwa informasi yang lengkap dibutuhkan agar mampu membuat keputusan yang tepat. Kurangnya informasi atau diskusi tentang resiko,efek samping tindakan, akan membuat pasien sulit mengambil keputusan, bahkan ada rasa cemas dan bingung.
3.       Kompetensi(Competence). Dalam konteks consent kompetensi bermakna suatu pemahaman bahwa seseorang membutuhkan sesuatu hal untuk mampu membuat keputusan dengan tepat, juga membutuhkan banyak informasi.
4.       Keputusan (Decision). Pengambilan keputusan merupakan suatu proses, dimana merupakan persetujuan tanpa refleksi. Pembuatan keputusan merupakan persetujuan tanpa refleksi. Pembuatan keputusan merupakan tahap terakhir proses pemberian persetujuan. Keputusan penolakan pasien terhadap suatu tindakan harus divalidasi lagi apakah karena pasien kurang kompetensi. Jika pasien menerima suatu tindakan senyaman mungkin.

D.     Dasar Hukum informed consent
1)       Diatur dalam Registrasi dan Praktik bidan pada Kepmenkes no. 900/2002 Pasal 25
a)       Ayat (1) Bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta dalam memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi.
b)      Di samping ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bidan dalam melaksanakan praktik sesuai dengan kewenangannya harus: a. menghormati hak pasien; b. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani; c. menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. memberikan informasi tentang pelayanan yang akan diberikan; e. meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan; f. melakukan catatan medik (medical record) dengan baik
2)       Diatur dalam Registrasi dan Praktik bidan pada Kepmenkes no. 900/2002 Bab IX, Sanksi Pasal 42 Bidan yang dengan sengaja : a. melakukan praktik kebidanan tanpa mndapat pengakuan/adaptasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan /atau; b. melakukan praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; c. melakukan praktik kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) ayat (2); dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
3)       Pasal 53 pada UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menetapkan sebagai berikut:
a)       Ayat 2, Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
b)       Ayat 4, Ketentuan mengenai standar profesi dan hak pasien sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Penjelasan Pasal 53 UU No. 23/92 Tentang Kesehatan adalah:
c)       Ayat 2, Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. Yang dimaksud dengan hak pasien adalah hak atas informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua.
4)       Secara hukum informed consent berlaku sejak tahun 1981, PP No. 8 Tahun 1981.
5)       Informed consent dikukuhkan menjadi lembaga hukum, yaitu dengan diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 Tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, lebih jelasnya baca dilamppiran. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 Tahun 1989 ini dalam Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 (a) menetapkan apa yang dimaksud Informed Consent; Persetujuan tindakan medic adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

E.      Ada dua dimensi dalam proses informed concent :
1.       Dimensi yang menyangkut hukum dalam hal ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang berperilaku memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :
a)       Keterbukaan informasi dari bidan kepada pasien
b)       Informasi tersebut harus dimengerti pasien
c)       Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memberikan kesempatan yang baik
2.       Dimensi yang meyangkut etik
Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :
a)       Menghargai kemandirian/otonomi pasien
b)       Tidak melakukan intervensi melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai dengan informasi yang telah dibutuhkan

F.      Syarat Sahnya Perjanjian Atau Consent (KUHP 1320)
1.       Adanya Kata Sepakat. Sepakat dari pihak bidan maupun klien tanpa paksaan, tipuan maupun kekeliruan setelah diberi informasi sejelas – jelasnya.
2.       Kecakapan. Artinya seseorang memiliki kecakapan memberikan persetujuan, jika orang itu mampu melakukan tindakan hukum, dewasa dan tidak gila. Bila pasien seorang anak, yang berhak memberikan persetujuan adalah orangtuanya, pasien dalam keadaan sakit tidak dapat berpikir sempurna shg ia tidak dapat memberikan persetujuan untuk dirinya sendiri, seandainya dalam keadaan terpaksa tidak ada keluarganya dan persetujuan diberikan oleh pasien sendiri dan bidan gagal dalam melakukan tindaknnya maka persetujuan tersebut dianggap tidak sah.
Contoh : Bila ibu dalam keadaan inpartu mengalami kesakitan hebat, maka ia tidak dapat berpikir dengan baik, maka persetujuan tindakan bidan dapat diberikan oleh suaminya, bila tidak ada keluarga atau suaminya dan bidan memaksa ibu untuk memberikan persetujuan melakukan tindakan dan pada saat pelaksanaan tindakan tersebut gagal, maka persetujuan dianggap tidak sah.
3.       Suatu Hal Tertentu. Obyek persetujuan antara bidan dan pasien harus disebutkan dengan jelas dan terinci. Misal : Dalam persetujuan ditulis dengan jelas identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, alamat, nama suami, atau wali. Kemudian yang terpenting harus dilampirkan identitas yang membuat persetujuan
4.       Suatu Sebab Yang Halal. Isi persetujuan tidak boleh bertentangan dengan undang – undang, tata tertib, kesusilaan, norma dan hukum. contoh : abortus provocatus pada seorang pasien oleh bidan, meskipun mendapatkan persetujuan si pasien dan persetujuan telah disepakati kedua belah pihak tetapi dianggap tidak sah sehingga dapat dibatalkan demi hukum

G.     Segi Hukum Informed Consent
·         Pernyataan dalam informed consent menyatakan kehendak kedua belah pihak, yaitu pasien menyatakan setuju atas tindakan yang dilakukan bidan dan formulir persetujuan ditandatangani kedua belah pihak, maka persetujuan tersebut mengikat dan tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak.
·         Informed consent tidak meniadakan atau mencegah diadakannya tuntutan dimuka pengadilan atau membebaskan RS atau RB terhadap tanggungjawabnya bila ada kelalaian. Hanya dapat digunakan sebagai bukti tertulis adan adanya izin atau persetujuan dari pasien terhadap diadakannya tindakan.
·         Formulir yang ditandatangani pasien atau wali pada umumnya berbunyi segala akibat dari tindakan akan menjadi tanggung jawab pasien sendiri dan tidak menjadi tanggung jawab bidan atau rumah bersalin. Rumusan tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan hukum, mengingat seseorang tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya atas kesalahan yang belum dibuat.

H.     Bentuk Informed Consent
Ada dua bentuk informed consent (Febiyanti Rizky, 2011)
1.       Implied constructive Consent (Keadaan Biasa). Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
2.       Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat). Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a)       Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent)
b)       Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien
c)       Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk menerima atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian informasi seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001). Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, dalam pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok yang  biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed.  
Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni:
1.       Standar praktek profesional (the professional practice standard)
2.       Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
3.       Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)



I.        Masalah Yang Lazim Terjadi Pada Informed Consent
1)       Pengertian kemampuan secara hukum dari orang yang akan menjalani tindakan, serta siapa yang berhak menandatangani.
2)       Masalah wali yang sah. Timbul apabila pasien atauibu tidak mampu secar hukum untuk menyatakan persetujuannya.
3)       Masalah informasi yang diberikan, seberapa jauh informasi dianggap telah dijelaskan dengan cukup jelas, tetapi juga tidak terlalu rinci sehingga dianggap menakut – nakuti
4)       Dalam memberikan informasi apakah diperlukan saksi, apabila diperlukan apakah saksi perlu menanda tanagani form yang ada. Bagaimana menentukan saksi?
5)       Dalam keadaan darurat, misal kasus perdarahan pada bumil dan kelaurga belum bisa dihubungi, dalam keadaan begini siapa yang berhak memberikan persetujuan, sementara pasien perlu segera ditolong.


Contoh-contoh Informed Consent secara Tulis dan Lisan21/03/2017
1.       Contoh Informed Consent secara Tertulis
Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung risiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PERMENKES No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi adekuat tentang perlunya tindakan medis serta risiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent).
SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama                  :                       (L/P)
Umur/Tgl Lahir     :
Alamat                 :
Telp                     :
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama                              :                        (L/P)
Umur/Tgl lahir      :
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis berupa…………………………………………………………………………….

Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.

                                                                                    Jakarta,………………….20……

Dokter/Pelaksana,                                                        Yang membuat pernyataan,
Ttd                                                                                           Ttd

(……………………)                                                  (…………………………..)
*Coret yang tidak  perlu

2.       Contoh Informed Consent secara Lisan
Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung risiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.
Contohnya, ketika bidan melakukan komunikasi kepada psien untuk melakukan tindakan keperawatan yaitu memandikan klien dan perawatn menyanyakan kepada klien dan keluarga mengenai kesediaan untuk dilakukan tindakan. Kemudian pasien atau keluarga pun hanya menyetujui dengan lisan tanpa harus dilakukan persetujuan dengan tulisan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar