Rabu, 05 April 2017

ISSUE ETIK DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

HAND OUT ISSUE ETIK  DALAM PELAYANAN KEBIDANAN


Mata Kuliah                   : Etika Profesi Dan Hukum Kesehatan
Topik                            : Issue Etik  Dalam Pelayanan Kebidanan
Sub Topik                     :
1.       Pengertian dan bentuk Issue Etik  Dalam Pelayanan Kebidanan
2.       Issue Etik  yang terjadi Dalam Pelayanan Kebidanan
3.       Dilema dan Konflik moral
Waktu                           : Rabu , 15 Maret 2017
Sasaran                        : Tingkat I Semester II
Dosen                           : Fitria DN

OBJEK PRILAKU SISWA
Setelah perkuliah ini, diharapkan agar mahasiswa mampu :
1.       Memahami Pengertian dan bentuk Issue Etik  Dalam Pelayanan Kebidanan
2.       Memahami Issue Etik  yang terjadi Dalam Pelayanan Kebidanan
3.       Memahami Dilema dan Konflik moral

REFRENSI
1.       Karlina Novvi, dkk. 2015.  “Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan “. In Media. Bogor
2.       Puji Wahyuningsih, Heni. 2008. Etika Profesi Kebidanan. Fitramaya. Yogyakarta.
4.       ____________, tersedia : http://blog-adhaedelweiss.blogspot.co.id/2016/03/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html\   (di unduh 14 maret 2017)
5.        ___________, Tersedia :  http://www.dunia-android.net/2014/03/contoh-issue-etik-issue-moral-dilema.html   di unduh 14 maret 2017)
6.       Issue Etik  Dalam Pelayanan Kebidanan , Tersedia :  https://putrihapsari87.wordpress.com/2014/10/22/issue-etik-dalam-pelayanan-kebidanan/   di unduh 14 maret 2017)


Uraian Materi
Issue Etik  Dalam Pelayanan Kebidanan

A.     Definisi Issue Etik
Issue adalah topik yang menarik untuk didiskusikan dan sesuatu yang memungkinkan setiap orang mempunyai pendapat. Pendapat yang timbul akan bervariasi, isu muncul dikarenakan perbedaan nilai-nilai dan kepercayaan.
Issue adalah masalah pokok yang berkembang di suatu masyarakat atau suatu lingkungan yang  belum tentu benar, yang membutuhkan pembuktian. Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah dan apakah penyelesaiannya baik atau buruk (Jones, 1994).
Issue etik adalah topik yang cukup penting untuk dibicarakan sehingga mayoritas individu akan mengeluarkan opini terhadap masalah tersebut sesuai dengan asas ataupun nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai benar salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

B.     Bentuk Etika
1.       Etika deskriptif, yang memberikan gambaran dan ilustrasi tentang tingakh laku manusia ditinjau dari nilai baik dan buruk serta hal-hai,mana yang boleh dilakukan sesuai dengan norma etis yang dianut oleh masyarakat.
2.       Etika Normatif, membahas dan mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia, yang biasanya dikelompokkan menjadi:
·         Etika umum; yang membahas berbagai hal yang berhubungan dengan kondisi manusia untuk bertindak etis dalam mengambil kebijakan berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.
·         Etika khusus; terdiri dari Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.
a.      Etika sosial menekankan tanggungjawab sosial dan hubungan antarsesama manusia dalam aktivitasnya,
b.      Etika individu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia sebagai pribadi,
c.     Etika terapan adalah etika yang diterapkan pada profesi
C.     Issue etik yang terjadi di antara bidan
a)       Issue etik yang terjadi antara bidan dengan klien, keluarga, masyarakat 
1.       Issue etik yang terjadi antara bidan dengan klien, keluarga dan masyarakat mempunyai hubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan. Seorang bidan dikatakan profesional bila ia mempunyai kekhususan sesuai dengan peran dan fungsinya yang bertanggung jawab menolong persalinan. Dengan demikian penyimpangan etik mungkin saja akan terjadi dalam praktek kebidanan misalnya dalam praktek mandiri, bidan yang bekerja di RS, RB atau institusi kesehatan lainnya. Dalam hal ini bidan yang praktek mandiri menjadi pekerja yang bebas mengontrol dirinya sendiri. Situasi ini akan besar sekali pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan etik.
o   Kasus
Di sebuah desa, ada seorang bidan yang sudah membuka praktek kurang lebih selama satu tahun. Pada suatu hari datang seorang klien bernama Ny ‘A’ usia kehamilan 38 minggu dengan keluhan perutnya terasa kenceng kenceng dan terasa sakit sejak 5 jam yang lalu. Setelah dilakukan VT, didapatkan hasil pembukaan 3 dan ternyata janin dalam keadaan letak sungsang. Oleh karena itu bidan menyarankan agar di Rujuk ke Rumah Sakit untuk melahirkan secara operasi SC. Namun keluarga klien terutama suami menolak untuk di Rujuk dengan alasan tidak punya biaya untuk membayar operasi. Tapi bidan tersebut berusaha untuk memberi penjelasan bahwa tujuan di Rujuk demi keselamatan janin dan juga ibunya namun jika tetap tidak mau dirujuk akan sangat membahayakan janin maupun ibunya. Tapi keluarga bersikeras agar bidan mau menolong persalinan tersebut.
Sebenarnya, dalam hal ini bidan tidak yakin bisa berhasil menolong persalinan dengan keadaan letak sungsang seperti ini karena pengalaman bidan dalam hal ini masih belum begitu mendalam. Selain itu juga dengan di Rujuk agar persalinan berjalan dengan lancar dan bukan kewenangan bidan untuk menolong persalinan dalam keadaan letak sungsang seperti ini. Karena keluarga tetap memaksa, akhirnya bidan pun menuruti kemauan klien serta keluarga untuk menolong persalinan tersebut. Persalinan berjalan sangat lama karena kepala janin tidak bisa keluar. Setelah bayi lahir ternyata bayi sudah meninggal. Dalam hal ini keluarga menyalahkan bidan bahwa bidan tidak bisa bekerja secara profesional dan dalam masyarakatpun juga tersebar bahwa bidan tersebut dalam melakukan tindakan sangat lambat dan tidak sesuai prosedur.
1.       KONFLIK : keluarga terutama suami menolak untuk di rujuk ke Rumah sakit dan
melahirkan secara operasi SC dengan alasan tidak punya biaya untuk
membayar operasi.
2.       ISSU : Di mata masyarakat, bidan tersebut dalam pelayanan atau melakukan
tindakan tidak sesuai prosedur dan tidak profesioanl. Selain itu juga
masyarakat menilai bahwa bidan tersebut dalam menangani pasien
dengan kelas ekonomi rendah sangat lambat atau membeda-bedakan antara pasien yang ekonomi atas dengan ekonomi rendah.
3.       DILEMA :
Bidan merasa kesulitan untuk memutuskan tindakan yang tepat untuk
menolong persalinan Resiko Tinggi. Dalam hal ini letak sungsang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh bidan sendiri dengan keterbatasan alat dan kemampuan medis. Seharusnya ditolong oleh Dokter Obgyn, tetapi dalam hal ini diputuskan untuk menolong persalianan itu sendiri dengan alasan desakan dari kelurga klien sehingga dalam hatinya merasa kesulitan untuk memutuskan sesuai prosedur ataukah kenyataan di lapangan.

o   Kasus 2
o   Disuatu desa , ada ditempatkan seorang bidan bernama buk neneng , buk neneng ini terkenal sekali materialistis . Sampai-sampai pelayanan yang di berikannya saja tergolong materialiastis . Suatu hari datang pasien bernama liska untuk bersalin . Setelah persalinan selesai suami dari Liska tidak bisa membayar semua uang persalinannya dengan lunas . Si bidan tidak terima dengan hal tersebut dan terus mendesak untuk melunasinya dan menceritakan kepada semua orang . Seharusnya sebagai seorang bidan janganlah dinilai masyarakat sebagai sosok yang materialistis karena bidan menolong persalinan itu berdasarkan hati nurani .

o   Kasus 2 :
o   Di sebuah desa, ada seorang bidan yang sudah membuka praktek kurang lebih selama dua tahun. Pada suatu hari datang seorang klien bernama Ny Ani usia kehamilan 38 minggu dengan keluhan perutnya terasa sakit sejak 5 jam yang lalu. Setelah dilakukan pemeriksaan, didapatkan hasil pembukaan 3 dan ternyata janin dalam keadaan letak sungsang. Oleh karena itu bidan menyarankan agar di Rujuk ke Rumah Sakit untuk melahirkan secara operasi SC. Namun keluarga klien terutama suami menolak untuk di Rujuk dengan alasan tidak punya biaya untuk membayar operasi. Tapi bidan tersebut berusaha untuk memberi penjelasan bahwa tujuan di Rujuk demi keselamatan janin dan juga ibunya namun jika tetap tidak mau dirujuk akan sangat membahayakan janin maupun ibunya. Tapi keluarga bersikeras agar bidan mau menolong persalinan tersebut. Sebenarnya, dalam hal ini bidan tidak yakin bisa berhasil menolong persalinan dengan keadaan letak sungsang seperti ini karena pengalaman bidan dalam hal ini masih belum begitu mendalam. Selain itu juga dengan di Rujuk agar persalinan berjalan dengan lancar dan bukan kewenangan bidan untuk menolong persalinan dalam keadaan letak sungsang seperti ini. Karena keluarga tetap memaksa, akhirnya bidan pun menuruti kemauan klien serta keluarga untuk menolong persalinan tersebut. Persalinan berjalan sangat lama karena kepala janin tidak bisa keluar. Setelah bayi lahir ternyata bayi sudah meninggal. Dalam hal ini keluarga menyalahkan bidan bahwa bidan tidak bisa bekerja secara profesional dan dalam masyarakatpun juga tersebar bahwa bidan tersebut dalam melakukan tindakan sangat lambat dan tidak sesuai prosedur.


b)      Teman Sejawat       
 ISSUE ETIK adalah topic yang cukup penting untuk dibicarakan sehingga mayoritas individu akan mengeluarkan opini terhadap masalah tersebut sesuai dengan asas ataupun nilai yang berkenaan dengan akhlak, niali benar salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
·         Kasus 1 :
·         Di suatu desa yang tidak jauh dari kota dimana di desa tersebut ada dua orang bidan yaitu bidan “A” dan bidan “B” yang sama – sama memiliki BPS dan ada persaingan di antara dua bidan tersebut.Pada suatu hari datang seorang pasien yang akan melahirkan di BPS bidan “B” yang lokasinya tidak jauh dengan                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             BPS bidan “A”. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata pembukaan masih belum lengkap dan bidan “B” menemukan letak sungsang dan bidan tersebut tetap akan menolong persalinan tersebut meskipun mengetahui bahwa hal tersebut melanggar wewenang sebagai seorang bidan demi mendapatkan banyak pasien untuk bersaing dengan bidan “A”.Sedangkan bidan “A” mengetahui hal tersebut. Jika bidan “B” tetap akan menolong persalinan tersebut,bidan “A” akan melaporkan bidan “B” untuk menjatuhkan bidan “B” karena di anggap melanggar wewenang profesi bidan.
1.       ISSU MORAL: seorang bidan melakukan pertolongan persalinan normal.
2.       KONFLIK MORAL: menolong persalinan sungsang untuk nendapatkan pasien demi persaingan atau dilaporkan oleh bidan “A”.
3.       DILEMA MORAL: 1. Bidan “B” tidak melakukan pertolongan persalinan sungsang tersebut namun bidan kehilangan satu pasien. 2. Bidan “B” menolong persalinan tersebut tapi akan dijatuhkan oleh bidan “A” dengan di laporkan ke lembaga yang berwewenang  
4.        ETIK adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai benar dan salah yang dianut suatu organisasi atau masyarakat.


·         Kasus 2 :
Di suatu desa yang tidak jauh dari kota dimana di desa tersebut ada dua orang bidan yaitu bidan Yati dan bidan Liska yang sama – sama memiliki RB dan ada persaingan di antara dua bidan tersebut.
Pada suatu hari datang seorang pasien yang akan melahirkan di RB bidan Liska yang lokasinya tidak jauh dengan RB bidan Yati . Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata pembukaan masih belum lengkap dan menemukan letak sungsang dan bidan tersebut tetap akan menolong persalinan tersebut meskipun mengetahui bahwa hal tersebut melanggar wewenang sebagai seorang bidan demi mendapatkan banyak pasien untuk bersaing dengan bidan Yati.Sedangkan bidan Yati mengetahui hal tersebut. Jika bidan Liska tetap akan menolong persalinan tersebut,bidan Yati akan melaporkan bidan Liska untuk menjatuhkan bidan Liska karena di anggap melanggar wewenang profesi bidan.


c)       Team Kesehatan lainnya
Pengertian Yaitu perbedaan sikap etika yang terjadi pada bidan dengan tenaga medis lainnya. Sehingga menimbulkanketidak sepahaman atau kerenggangan social.
·         Kasus
Disuatu desa yang ada sebuah BPS, suatu hari ada seorang Ibu berusia 35 Tahun keadaannya sudah lemah. bidan menanyakan kepada keluarga pasien apa yang terjadi pada pasien. Dan suami pasien menjawab ketika dirumah Px jatuh & terjad iperdarahan hebat. Setelahitu bidan memberikan pertolongan , memberikan infuse dst…. Bidan menjelaskan pada keluarga, agar istrinya di bawa ke rumah sakit untuk dilakukan curretase.Kemudian keluarga pxmenolak saran bidan tsb, dan meminta bidan yang melakukan currentase. selang waktu 2 hari pxmengalami perdarahan lagi kemudian keluarga merujuk ke RS.Dokter menanyakan kapeda suami px, apa yang sebenarnya terjadi dan suami px menjelaskan bahwa 3 hari yang lalu istrinya mengalami keguguran & di currentase bidan didesany. dokter mendatangi bidan terebut. Maka Terjadilah konflik antara bidan & dokter.
1.       ISSUE ETIK : Mall Praktek Bidan melakukan tindakan diluar wewenangnya.
2.       KONFLIK : bidan melakukan currentase diluar wewenangnya sehingga terjadilah konflik antara bidan & dokter.
3.       DILEMA : jika tidak segera dilakukan tindakan takutnya merenggut nyawa px karena BPS jauh dari RS. Dan jika dilakukan tindakan bidan merasa melanggar kode etik kebidanan & merasa melakukan tindakan diluar wewenangnya.

d)      Organisasi profesi                                                                                                                                                                                 
Issue etik yang terjadi antara bidan dan organisasi profesi adalah suatu topic masalahyang menjadi bahan pembicaraan antara bidan dengan organisasi profesi karena terjadinyasuatu hal-hal yangmenyimpang dari aturan-aturan yang telah ditetapkan.
·         Kasus
·         Seorang ibu yang ingin bersalin di BPS pada bidan A sejak awal kehamilan ibutersebut memang sudah sering memeriksakan kehamilannya. Menurut hasil pemeriksaanbidan Ibu tersebut mempunyai riwayat hipertensi. Maka kemungkinan lahir pervaginanyasangat beresiko Saat persalinan tiba. Tekanan darah ibu menjadi tinggi. Jik atidak dirujuk maka beresiko terhadap janin dan kondisi si Ibu itu sendiri. Resiko pada janin bisa terjadigawat janin dan perdarahan pada ibu. Bidan A sudah mengerti resiko yang akan terjadi. Tapi ia ebih memntingkan egonya sendiri karena takut kehilangan komisinya dari pada dirujuk kermah sakit. Setelah janin lahir Ibu mengalami perdarahan hebat, sehingga kejang-kejang danmeninggal. Saaat berita itu terdengar organisasi profesi (IBI), maka IBI memberikan sanksiyang setimpal bahwa dari kecerobohannya sudah merugikan orang lain. Sebagai gantinya,ijin praktek (BPS) bidan A dicabut dan dikenakan denda sesuai dengan pelanggaran tersebut.
1.       Issue etik :
·         Terjadi malpraktek
·          Pelangaran wewenang Bidan
2.       Dilema etik Warga yang mengetahui hal tersebut segera melaporkan kepada organisasi profesi dan diberikan penangan.


D.     Issue etik yang terjadi dalam pelayanan kebidanan
Pengertian Issue Isu adalah masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu lingkungan yang belum tentu benar, serta membutuhkan pembuktian.
Issue Etik Dalam Pelayanan Kebidanan. Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalm menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah dan apakah pernyataan itu baik atau buruk. Issue etik dalam pelayanan kebidanan merupakan opic yang penting yang berkembang di masyarakat tentang nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan yang berhubungan dengan segala aspek kebidanan yang menyangkut baik dan buruknya.
Beberapa pembahasan masalah etik dalm kehidupan sehari hari adalah sebagai berikut:
1.       Persetujuan dalam proses melahirkan.
·         Memilih atau mengambil keputusan dalam persalinan.
·         Kegagalan dalam proses persalinan.
·         Pelaksanan USG dalam kehamilan.
·         Konsep normal pelayanan kebidanan.
·         Bidan dan pendidikan seks.
2.       Contoh masalah etik yang berhubungan dengan teknologi:
·         Perawatan intensif pada bayi.
·         Skreening bayi.
·         Transplantasi organ.
·         Teknik reproduksi dan kebidanan.
3.       Contoh masalah etik yang berhubungan dengan profesi:
·         Pengambilan keputusan dan penggunaan etik.
·         Otonomi bidan dan kode etik profesional.
·         Etik dalam penelitian kebidanan.
·         Penelitian tentang masalah kebidanan yang sensitif.

4.       Biasanyan beberapa contoh mengenai isu etik dalm pelayananan kebidanan adalah berhubungan dengan masalah-masalah sebagai berikut:
·         Agama / kepercayaan.
·         Hubungan dengan pasien.
·         Hubungan dokter dengan bidan.
·         Kebenaran.
·         Pengambilan keputusan.
Bidan dituntut untuk berprilaku hati-hati dalm setiap tindakannya dalam memberikan asuhan kebidanan dengan menampilkan perilaku yang etis dan profesional.


E.      Dilema dan Konflik moral
A.     Definisi
MORAL berasal dari bahasa latin  ”MOS”  kebiasaan adat, ”MORAL” etimologi dengan ”ETIK” keduanya mengandung arti adat kebiasaan  walaupun bahasa asalnya berbeda (”etik”= Yunani) (”moral”= latin). Moral merupakan pengetahuan atau keyakian tentang adanya hal yang baik dan buruk yang mempengaruhi sikap seseorang. Issue moral adalah merupakan topik yang penting berhubungan dengan benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan orang sehari hari menyangkut kasus abortus, euthanasia, keputusan untuk terminasi kehamilan.
Moral merupakan pengetahuan atau keyakinan tentang adanya hal yang baik dan buruk yang memengaruhi sikap seseorang. Kesadaran tntang adanya baik dan buruk berkembang pada diri seseorang seiring dengan pengaruh lingkungan, pendidikan, sosial budaya, agama dan lain-lain. Hal ini disebut kesadaran moral. Issue moral dalam pelayanan kebidanan merupakan topik yang penting yang berhbungan dengan benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari dan yang ada kaitanya dengan pelayanan kebidanan.
Isu moral merupakan topik yang penting berhubungan dengan benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang berhungan dengan kehidupan orang sehari-hari menyangkut kasus abortus, euthanasia, keputusan untuk terminasi kehamilan. Isu moral juga berhubungan dengan kejadian yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari seperti menyangkut konflik, malpraktik, perang, dsb. 
Dilema moral menurut Campbell adalah suatu keadaan dimana dihadapkan pada dua alternatif pilihan yang kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan pemecahan masalah.
Konflik moral menurut Johnson adalah bahwa konflik atau dilema pada dasarnya sama, kenyataanya konflik berada diantara prinsip moral dan tugas yang mana sering menyebabkan dilema, ada dua tipe konflik, yang pertama konflik yang berhubungan dengan prinsip dan yang kedua adalah konflik yang berhubungan dengan otonomi. Dua tipe konflik ini adalah merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan.
Ketika mencari solusi atau pemecahan masalah harus menginat akan tanggung jawab profesional yaitu :
1.       Tindakan selalu ditujukan untuk peningkatan kenyamanan, kesejahteraan pasien dan kline
2.       Menjamin bahwa tidak ada tindakan yang menghilangkan sesuatu bagian ( omission), disertai rasa tanggung jawab, memperhatikan kondisi dan keamanan pasien atau klien

Contoh studi kasus dilema moral : “Seorang ibu primipara masuk kamar bersalin dalam keadaan inpart. Sewaktu di lakukan anamnesa dia mengatakan tidak mau di episiotomy. Ternyata selama kala dua kemajuannya berlangsung lambat, perineum masih tebal dan kaku. Keadaan ini di jelaskan kepada ibu oleh bidan, tetapi ibu tetap pada pendiriannya menolak di episiotomy. Sementara waktu berjalan terus dan denyut jantung janin menunjukkan keadaan fetal distress dan hal ini mengharuskan bidan untuk melakukan tindakan episiotomy, tetapi ibu tetap tidak menyetujuinya. Bidan berharap bayinya selamat. Sementara itu ada bidan yang memberitahukan bahwa dia pernah melakukan hal ini tanpa persetujuan pasien, di lakukan karena untuk melindungi bayinya. Jika bidan melakukan episiotomi tanpa persetujuan pasien, maka bidan akan di hadapkan oada suatu tuntutan dari pasien. Sehingga inilah contoh gambaran dilema moral. Bila bidan melakukan tindakan tanpa persetujuan pasien, bvagaimana di tinjau dari segi etik dan moral. Bila tidak di lakukan tindakan, apa yang akan terjadi pada bayinya?”


B.     Pengertian Konflik Moral
Menurut Taquiri dalam Newstorem dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidak setujuan. Kontroversi dan pertentangan diantara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Menurut Gibson, et all (1997) hubungan selain dapat menciptakan kerja sama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik, hal ini terjadi jika masing-masing kompenen organisasi meiliki kepentingan atau tujuan sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Menurut robbin (1996) keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka memersepsikan bahwa didalam organisasi telah ada konflik, maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organiasi (muchlas,1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubunganya dengan stress. Menurut minnery (1985) konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbadaan persetujuan.
Ada dua tipe konflik, dan dua tipe konflik ini merupakan dua bagian yang tidak bisa dipisahkan :
a)       Konflik yang berhubungan dengan prinsip.
b)       Konflik yang berhubungan dengan otonomi.

Adapun penyebab konflik adalah sebagai berikut :
a)       Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
b)       Perbedaaan latar belakang kebudayaan, sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
c)       Berbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
d)       Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Untuk mengatasi konflik moral adalah Setiap pihak (nakes dan klien)  harus menyadari hak dan kewajibannya serta mampu menempatkan dirinya dalam porsi yang tepat.Upaya yang dapat mempertemukan  kebutuhan kedua belah pihak tanpa merugikan salah satu pihak adalah melalui komunikasi interpersonal atau konseling (KIP/K) antara nakes dengan kliennya. Yang terwujud dalam informed choice dan informed concent.

Contoh studi kasus mengenai konflik moral :
“Ada seorang bidan yang berpraktik mandiri dirumah. Ada seorang pasien impartu datang ketempat prakteknya. Status obstetri pasien adalah GG.Po.Ao. hasil pemeriksaan penapisan awal menunjukan presentasi bokong  dengan tafsiran 3900gram. Dengan kesejahteraan janin dan ibu baik. Maka bidan tersebut menganjurkan dan memberi konseling pada pasien mengenai kasusnya dan keluarganya menolak dirujuk dan bersikukuh untuk melahirkan dibidan tersebut karena pertimbangan biaya dan kesulitan lainya.
Melihat kasus ini maka bidan dihadapkan pada konflik moral yang bertentangan dengan prinsip moral dan otonomi maupun kewenangan dalam pelayanan kebidanan. Bahwa sesuai Kepmenkes Republik Indonesia 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan, bidan tidak berwenang memberikan pertolongan persalinan pada primigravida dengan presentasi bokong, disisi lain, ada prinsip nilai moral dan kemanusiaan yang dihadapi pasien yaitu ketidakmampuan secara sosial ekonomi dan kesulitan yang lain, maka bagaimana seorang bidan mengambil keputusan yang terbaik terhadap konflik moral yang dihadapi dalam pelayanan kebidanan”.


Beberapa contoh issue moral dalam kehidupan sehari-hari
a)       aborsi
 Menurut KUHP
·         Pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu)
·         Pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan (berat kurang dari 500 gram atau kurang dari 20 minggu). Dari segi medikolegal maka istilah abortus, keguguran, dan kelahiran prematur mempunyai arti yang sama dan menunjukan pengeluaran janin sebelum usia kehamilan yang cukup.
Menurut UU Kesehatan Nomor 23/1992 pasal 15
·         Disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Maksud dari kalimat ‘tindakan  medis tertentu’ salah satunya adalah aborsi
·         Selain pengertian diatas disebutkan pula bahwa aborsi atau pengguguran kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang disengaja (abortus provocatus). Yakni, kehamilan yang diprovokasi dengan berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah kehamilan berhebti karena factor-faktor alamiah (abortus spontaneous).
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1.       Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
2.       Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus Provocatus Criminalis adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
3.       Aborsi terapeutik / Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.

Undang – undang yang mengatur mengenai aborsi
Dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 350 dinyatakan sebagai berikut :
·         Pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
·         Pasal 347 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
·         Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandunga seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
·         Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukankejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga dandapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam manakejahatan dilakukan”.

Legalitas Aborsi dalam Kondisi Khusus menurut Undang-Undang
Abortus buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua golongan yakni :
1.    Abortus buatan legal (Abortus provocatus therapcutius) Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya: menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si ibu.
2.    Abortus buatan ilegal Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran kandungan yang disengaja digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa (Bab XIX pasal 346 s/d 249). Namun dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang kesehatan pada pasal 15ayat (1) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Kemudian pada ayat (2) menyebutkan tindakan medis tertentu dapat dilakukan :
1.       Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut
2.       Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli
3.       Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan serta suami dan keluarga

·         Lalu dalam UU No. 1 tahun 1946 tentang KUHP, UU no. 7 thn. 1984 dan UU no 3 thn.1992 aborsi tidak boleh dilakukan kecuali dalam kondisi tertentu.


Dilakukannya Tindakan Abortus Provokatus / Kriminalis Komplikasi Medis yang Dapat Timbul Pada Ibu:
1.       Perforasi Dalam . Melakukan kerokan harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke rongga peritoneum, ke ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab itu letak uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal tindakan, dan pada dilatasi serviks jangan digunakan tekanan berlebihan. Pada kerokan kuret dimasukkan dengan hati-hati, akan tetapi penarikan kuret ke luar dapat dilakukan dengan tekanan yang lebih besar. Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis. Apabila terjadi perforasi atau diduga terjadi peristiwa itu, penderita harus diawasi dengan seksama dengan mengamati keadaan umum, nadi, tekanan darah, kenaikan suhu, turunnya hemoglobin, dan keadaan perut bawah. Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya dilakukan laparatomi percobaan dengan segera.
2.       Luka pada serviks uteri. Apabila jaringan serviks kerasdan dilatasi dipaksakan maka dapat timbul sobekan pada serviks uteri yang perlu dijahit. Apabila terjadi luka pada ostium uteri internum, maka akibat yang segera timbul ialah perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon pada serviks dan vagina. Akibat jangka panjang ialah kemungkinan timbulnya incompetent cerviks.
3.       Pelekatan pada kavum uteri. Melakukan kerokan secara sempurna memerlukan pengalaman. Sisa-sisa hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan miometrium jangan sampai terkerok, karena hal itu dapat mengakibatkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di beberapa tempat. Sebaiknya kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila pada suatu tempat tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi.
4.       Perdarahan. Kerokan pada kehamilan agak tua atau pada mola hidatidosa ada bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya diselenggarakan transfusi darah dan sesudah kerokan selesai dimasukkan tampon kasa ke dalam uterus dan vagina.
5.       Infeksi. Apabila syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka bahaya infeksi sangat besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat menyebar ke seluruh peredaran darah, sehingga menyebabkan kematian. Bahaya lain yang ditimbulkan abortus kriminalis antara lain infeksi pada saluran telur. Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan lagi.
6.       Lain-lain. Komplikasi yang dapat timbul dengan segera pada pemberian NaCl hipertonik adalah apabila larutan garam masuk ke dalam rongga peritoneum atau ke dalam pembuluh darah dan menimbulkan gejala-gejala konvulsi, penghentian kerja jantung, penghentian pernapasan, atau hipofibrinogenemia. Sedangkan komplikasi yang dapat ditimbulakan pada pemberian prostaglandin antara lain panas, enek, muntah dan diare.

Komplikasi yang Dapat Timbul Pada Janin:
Sesuai dengan tujuan dari abortus itu sendiri yaitu ingin mengakhiri kehamilan, maka nasib janin pada kasus abortus provokatus kriminalis sebagian besar meninggal. Kalaupun bisa hidup, itu berarti tindakan abortus gagal dilakukan dan janin kemungkinan besar mengalami cacat fisik. Secara garis besar tindakan abortus sangat berbahaya bagi ibu dan juga janin yaitu bisa menyebabkan kematian pada keduanya.

b)      Euthanasia
Bidang medis membagi proses kematian ke dalam tiga cara yaitu : pertama, Orthothansia ialah proses kematian yang terjadi karena proses ilmiah atau secara wajar, seperti proses ketuaan, penyakit dan sebagainya. Kedua, dysthanasia ialah proses kematian yang terjadi secara tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh diri dan lain-lain. Ketiga, euthanasia ialah proses kematian yang terjadi karena pertolongan dokter.
Euthanasia atau jenis kematian ketiga yang disebutkan diatas merupakan jenis kematian yang hingga saat ini menimbulkan dilema bagi para petugas medis khususnya dokter karena belum adanya ketetapan hukum. Karena tidak jarang pasien yang menderita penyakit parah dan sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh menginginkan dokter melakukan euthanasia terhadap dirinya atau pasien yang tidak sadarkan diri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga keluarganya tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasien tersebut sehingga keluarga meminta kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia. Baik itu dengan cara menghentikan pengobatan, memberikan obat dengan dosis yang berlebihan (over dosis), dan dengan berbagai macam cara lainnya.
Unsur-unsur euthanasia dilihat dari beberapa definisi di atas, antara lain :
1)       Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2)       Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3)       Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
4)       Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
5)       Demi kepentingan pasien dan keluarganya.


Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai dari mana sudut pandangnya atau cara melihatnya.
a.       Euthanasia dilihat dari cara dilaksanakannya
Berdasarkan cara pelaksanaannya, Euthanasia dapat dibedakan menjadi :
1)       Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidupnya. Menurut kamus hukum, Euthanasia pasif adalah pihak dokter menghentikan segala obat yang diberikan kepada pasien, kecuali obat untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atas permintaan pasien.
Berdasarkan kedua pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Euthanasia pasif adalah tindakan mempercepat kematian pasien dengan cara menolak memberikan pertolongan seperti menghentikan atau mencabut segala pengobatan yang menunjang hidup si pasien.
Hal ini sudah jelas, karena seorang pasien yang sedang menjalani perawatan pastilah didukung oleh obat-obatan sebagai salah satu tindakan medis yang dilakukan oleh petugas medis atau dokter demi kesembuhan pasien. Apabila petugas medis/dokter membiarkan pasien meninggal atau pasien menolak untuk diberikan pertolongan oleh dokter dengan cara menghentikan pemberian obat-obatan bagi pasien, misalnya seperti memberhentikan alat bantu pernapasan (alat respirator) maka secara otomatis pasien meninggal. Cara yang dilakukan oleh dokter tersebut merupakan euthanasia pasif.

2)       Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara medis melalui intervensi atau tindakan aktif oleh seorang petugas medis (dokter), bertujuan untuk mengakhiri hidup pasien. Dengan kata lain, Euthanasia aktif sengaja dilakukan untuk membuat pasien yang bersangkutan meninggal, baik dengan cara memberikan obat bertakaran tinggi (over dosis) atau menyuntikkan obat dengan dosis atau cara lain yang dapat mengakibatkan kematian. Euthanasia dibagi lagi menjadi euthanasia aktif langsung (direct) dan euthanasia aktif tidak langsung (indirect). Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini biasa disebut mercy killing. Contohnya, dokter memberikan suntikan zat yang dapat segera mematikan pasien.
Euthanasia aktif tidak langsung adalah keadaan dimana dokter atau tenaga medis melakukan tindakan medik tidak secara langsung untuk mengakhiri hidup pasien, namun mengetahui adanya resiko yang dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Contohnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.

b.      Ditinjau dari permintaan
Bagi pasien yang harapannya untuk sembuh sangat kecil biasanya mengajukan permintaan kepada petugas medis untuk mengakhiri hidupnya agar pasien tersebut tidak mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Berdasarkan hal tersebut, maka Euthanasia dapat dibedakan menjadi :
1)       Euthanasia voluntir
Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis berdasarkan permintaan dari pasien sendiri. Permintaan ini dilakukan oleh pasien dalam kondisi sadar dan berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun. Dengan kata lain, pasien menginginkan dilakukannya euthanasia secara sukarela karena berdasarkan permintaannya sendiri dan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
2)       Euthanasia involuntir
Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang sudah tidak sadar. Biasanya permintaan untuk dilakukannya euthanasia ini berasal dari pihak ketiga yaitu keluarga pasien dengan berbagai alasan, antara lain : biaya perawatan yang mahal sehingga tidak bisa ditanggung lagi oleh keluarga pasien, kasihan terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan lainnya. Menurut Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono, terdapat beberapa kasus yang disebut pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan pada larangan hukum pidana. Empat pseudo-euthanasia menurut Leneen adalah :
·         Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak. Jantung masih berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan berat.
·         Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.
·         Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majure).
·         Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada gunanya.

c.       Euthanasia Menurut Ajaran Agama

1.        Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman.
Pada tanggal 5 Mei tahun 1980, kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung"


2.       Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekuensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu faktor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan.

3.       Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Buddha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Buddha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Buddha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna"). Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Buddha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

4.       Dalam ajaran Islam
Dalam Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22 : 66; 2 : 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadits yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.  Euthanasia aktif menurut agama islam biasa disebut dengan taisir al-maut al-fa'al. Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.  Eutanasia pasif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia pasif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit.  Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah.

5.       Dalam ajaran agama Kristen Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
·         Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : "penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
·         Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.7



6.       Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran
Bartens menjelaskan etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah “ta etha” artinya adat kebiasaan. Lebih lanjut, Poerwadarminta menyimpulkan bahwa : etika adalah sama dengan akhlak, yaitu pemahaman tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta pemahaman tentang hak dan kewajiban orang. Etika sebagai kajian ilmu membahas tentang moralitas atau tentang manusia terkait dengan perilakunya terhadap makhluk lain dan sesama manusia. James J. Spillane SJ1mengungkapkan bahwa etika atau ethic memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa etika merupakan suatu aturan yang mengatur tingkah laku dalam bermasyarakat sehingga bisa menmbedakan apa yang baik dan apa yang buruk serta mana yang hak dan mana kewajiban.
Secara garis besar etika dikelompokkan menjadi dua, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum merupakan aturan bertindak secara umum dalam kelompok masyarakat tertentu. Etika khusus, yang selanjutnya berkembang menjadi etika profesi adalah aturan bertindak pada kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat khusus, yakni kelompok profesi. Tujuan dari etika profesi ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan profesi. Oleh karena itu, etika profesi ini harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap orang yang menjalankan profesi tertentu, misalnya seorang dokter yang harus tunduk dan taat pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan keahliannya yang diperoleh dari pendidikan kedokteran yang telah ditempuhnya serta perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kode Etik Kedokteran, yaitu “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.” Standar profesi tertinggi yang dimaksud adalah melakukan profesi sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran yang mutakhir atau sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. Pendidikan kedokteran mutakhir yang dimaksud di atas adalah sesuai dengan Pasal 28 ayat 21 (1) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu “setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktek wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.”
Selain itu, dalam Kode Etik Kedokteran yaitu pada Pasal 7c bahwa “seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.” Hak pasien yang dimaksud pada Pasal tersebut salah satunya adalah hak untuk hidup dan hak atas tubuhnya sendiri. Maka berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien yang ingin dieutahanasia sebab pasien tersebut berhak atas hidup dan tubuhnya sendiri. Tetapi pada Pasal 7d menyatakan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup insani.” Artinya, dalam tindakan medis yang dilakukan oleh dokter bertujuan untuk memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup pasien. Sehingga dokter tidak boleh melakukan tindakan yang tidak memelihara atau mempertahankan hidup pasien salah satunya adalah Euthanasia.
Terjadi ketidakharmonisan antara Pasal 7c dengan Pasal 7d Kode Etik Kedokteran Indonesia apabila dikaitkan dengan Euthanasia, yaitu berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien untuk dilakukan Euthanasia sesuai dengan hak pasien atas hidup dan tubuhnya sendiri. Menurut Pasal 7d seorang dokter harus memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup seorang pasien.
Menurut Frans13, beberapa tantangan etika kedokteran meliputi : penetapan norma-norma etika kedokteran, otonomi pasien, janin manusia dan euthanasia. Mengenai kasus euthanasia, sampai saat ini masih menimbulkan dilema antara etika kedokteran dan problem hidup yang sangat sulit diselesaikan. Selain Kode Etik Kedokteran Indonesia landasan etika kedokteran yang lain yaitu Sumpah Hipocrates (460-377 SM), Deklarasi Geneva (1948) mengenai lafal sumpah dokter, International Code of Medical Ethics (1949), Lafal Sumpah Dokter Indonesia (1960), Deklarasi Helsinki (1964) mengenai riset klinik, Deklarasi Sydney (1968) mengenai saat kematian, Deklarasi Oslo (1970) mengenai pengguguran kandungan atas indikasi medik dan Deklarasi Tokyo (1975) mengenai penyiksaan.
Berkaitan dengan kasus euthanasia maka pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaannya adalah dokter. Tanggung jawab tersebut didasarkan pada implikasi yuridis terjadinya kesalahan atau kelalaian dalam perawatan atau pelayanan pasien. Kesalahan dokter timbul sebagai akibat terjadinya tindakan yang tidak sesuai, atau tidak memenuhi prosedur medis yang seharusnya dilakukan, yang dapat terjadi karena faktor kesengajaan atau kelalaian dari seorang dokter.15 Menurut C. Berkhouwer dan L. D. Vorstman, suatu kesalahan dalam melakukan profesi bisa terjadi karena adanya tiga faktor, yaitu :
1)       Kurangnya pengetahuan.
2)       Kurangnya pengalaman.
3)       Kurangnya pengertian.
Tanggung jawab dokter dari sudut hukum meliputi tanggung jawab hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi. Tanggung jawab hukum pidana apabila terjadi kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugas maka dokter harus bertanggung jawab. Tanggung jawab hukum perdata bersumber pada 2 dasar, yaitu : Pertama, berdasarkan pada wanprestasi (contractual liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata; Kedua, berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Tanggung jawab hukum administrasi yaitu apabila tindakan dokter atau tenaga medis lain mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pasien.


c)       Adopsi atau pengangkatan anak
Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.22Menurut Ensiklopedia Umum, anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Hilman Hadikusuma, anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat. Dari segi etimologi yaitu asal usul kata pengangkatan anak berasal dari bahasa Belanda “Adoptie” atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak.
Dalam bahasa arab disebut “Tabanni” yang menurut prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus Munjid diartikan “menjadikannya sebagai anak”. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.

A.     Tujuan Adopsi atau pengangkatan anak
Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. 30 Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak bisa mendapatkan keturunan/tidak mungkin melahirkan anak dengan berbagai macam sebab, seperti mandul pada umumnya.
Padahal mereka sangat mendambakan kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarga mereka. Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129, pengangkatan anak dilakukan dengan alasan apabila seorang laki-laki yang kawin atau telah pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-laki, baik karena pertalian darah maupun karena pengangkatan. Menurut Staatblad ini, pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak mendapatkan keturunan/anak laki-laki.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.31Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orangtuanya
Praktek pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial untuk pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat.
Berdasarkan sumber-sumber yang ada, dalam hal ini terdapat beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar dilaksanakannya suatu pengangkatan anak. Dilihat dari sisi adoptant, karena adanya alasan:
·         Keinginan untuk mempunyai anak atau keturunan.
·         Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya.
·         Keinginan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan.
·         Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak.
·         Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.

Tujuan pengangkatan anak di Indonesia jika ditinjau dari segi hukum adat berdasarkan penjelasan dan sumber literatur yang ada, terbagi atas beberapa macam alasan dilakukan pengangkatan anak, yaitu:
·         Karena tidak mempunyai anak.
·         Karena belas kasihan terhadap anak tersebut disebabkan orangtua si anak tidak mampu memberi nafkah kepadanya.
·         Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orangtua (yatim piatu).
·         Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk bisa mempunyai anak kandung. Dengan maksud agar si anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik, motivasi ini juga erat hubungannya dengan misi kemanusiaan. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris (regenerasi) bagi yang tidak mempunyai anak. Diharapkan anak angkat dapat menolong dihari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. Ada juga rasa belas kasihan terhadap nasib si anak seperti tidak terurus. Karena si anak sering penyakitan atau selalu meningggal, maka untuk menyelamatkan si anak diberikanlah anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak dengan harapan agar si anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang umur.
Dengan demikian pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan yang bernilai positif dalam masyarakat hukum adat kita dengan berbagai motivasi yang ada, sesuai dengan keanekaragaman masyarakat dan bentuk kekeluargaan di Indonesia


Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan
Di Indonesia pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anak, untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak yaitu dengan disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak.  Kemudian dapat di lihat pengertian pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak yaitu suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertangguang jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orangtua angkat.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No 6 Tahun 1983 tentang pengangkatan anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan

Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat.  Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.
Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan orangtua sebagai berikut:
o   Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.
o   Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.
o   Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orangtua kandung dan beralih kepada orangtua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat.
o   Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orangtua kandung, melainkan dari orangtua angkat.


d)      Transplantasi
Ada beberapa pengertian tentang transplantasi organ, di antaranya yaitu:
·         Dalam dunia kedokteran pencangkokan atau transplantasi diartikan sebagai pemindahan jaringan atau organ dari tempat yang satu ketempat lainnya. Hal ini bisa terjadi dalam satu individu atau dua individu.
·         Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat lain pada tubuhnya sendiri atautubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu.2
·         Dalam Kamus Kedokteran DORLAND dijelaskan bahwa transplantasi berasal dari transplantation (trans + L.plantare menanam) berarti penanaman jaringan yang diambil dari tubuh yang sama atau dari individu lain. Adapun trasplant berarti:
1.       Menstransfer jaringan dari satu bagian ke Bagian lain.
2.       Organ atau jaringan yang diambil dari badan untuk ditanam di daerah lain pada badan yang sama atau ke individu lain.
Terdapat dua hal penting yang mendasari transplantasi, yaitu eksplantasi dan implantasi. Eksplantasi adalah usaha mengeluarkanatau mengambil jaringan atau organ dari donor yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal. Sedangkan implantasi adalah usaha penempatan organ atau jaringan atau jaringan yang telah yang telah di ambil dari tubuh donor untuk ditempatkan pada tubuh pendonor itu sendiri atau ditempatkan pada tubuh resipient lain

A.     Macam-macam transplantasi organ tubuh
Jika dilihat dari sudut penerima organ, maka transplantasi dibedakan menjadi:
1.       Autotransplantasi yaitu pemindahan organ atau jaringan pada tempat yang lain dari tubuh orang itu sendiri. Seperti seorang yang pipinya dioperasi untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari badannya yang lain dari badannya sendiri.
2.       Homotransplantasi yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari tubuh yang satu ketubuh yang lain. Atau dari individu ke individu lain yang sama jenisnya. Maksudnya manusia untuk manusia hewan untuk hewan.
3.       Heterotransplantasi yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari dua jenis individu yang berbeda, misalnya dari hewan ke tubuh manusia.

Sedangkan jika dilihat dari jenis transplantasi itu sendiri dibedakan menjadi dua:
1.       Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan cornea mata dan menambal bibir sumbing.Transplantasi jaringan ini jika tidak dilakukan tidak membahayakan kelangsungan hidup penderita, tujuannya hanyalah menyempurnakan kekurangan yang ada.
2.       Transplantasi organ, seperti jantung, hati, dan ginjal. Transplantasi ini dilakukan untuk melangsungkan hidup penderita, karena jika tidak dilakukan transplantasi maka akan membahayakan kelangsungan hidup penderita.

B.     Tujuan transplantasi organ tubuh
Transplantasi merupakan cara atau upaya medis untuk menggantikan organ atau jaringan yang rusak, atau tidak berfungsi dengan baik. Pada dasarnya transplantasi bertujuan sebagai usaha
terakhir pengobatan bagi orang yang bersangkutan, setelah usaha pengobatan yang lainnya mengalami kegagalan. Sementara itu menurut Sa’ad pada dasrnya transplantasi bertujuan untuk:
1.       Kesembuhan dari suatu penyakit, misalnya kebutaan, kerusakan jantung, ginjal dan sebagainya.
2.       Pemulihan kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak, atau mengalami kelainan tetapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis, misalnya bibir sumbing.
3.       Mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

C.     Dasar hukum transplantasi organ tubuh
Mengenai Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 dapat ditafsirkan, Transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhtikan ketentuan-katentuan sebagai berikut:
a.       Penderita sendiri yang diberikan sebelum ia meninggal dunia tanpa sepengetahuan keluarganya yang terdekat, dan keluarganya yang terdekat ikut menyetujui pula. Yang dimaksud dengan keluarganya terdekat ialah istri, suami, ibu, bapak atau saudara seibu-sebapak (sekandung) dari penderita dan saudara ibu, saudara bapak serta anak yang telah dewasa dari penderita
b.       Keluarganya yang terdekat dengan pertimbangan untuk kepentingan ilmu kedokteran, sehingga dapat diketahui sebab kematian penderita yang bersangkutan


e)       Bayi tabung
Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa.Status bayi tabung ada 3 macam :
1.        Inseminasi buatan dengan sperma suami.
2.        Inseminasi buatan dengan sperma donor.
3.        Inseminasi bautan dengan model titipan.
Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui secara legal. Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga, untuk menghindarkan masalah dikemudian hari. Terkait dengan proses bayi tabung, pada tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwanya. Pada intinya, para ulama menyatakan bahwa bayi tabung diperbolehkan selama sperma yang didonorkan berasal dari suami yang sah dari si perempuan yang rahimnya hendak digunakan dalam proses bayi tabung.
Hal itu karena memanfaatkan teknologi bayi tabung merupakan hak bagi pasangan yang berikhtiar untuk memperoleh keturunan. Namun, jika sperma dan rahim yang digunakan bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, maka hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar pernikahan yang sah. Dengan kata lain, bisa terjadi rahim seorang perempuan dipinjamkan untuk proses bayi tabung dari embrio seorang lelaki yang bukan suaminya. Nah, hal itu sama saja dengan perzinaan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar