HAND
OUT ISSUE ETIK DALAM PELAYANAN KEBIDANAN
Mata
Kuliah : Etika Profesi
Dan Hukum Kesehatan
Topik : Issue Etik Dalam Pelayanan Kebidanan
Sub
Topik :
1. Pengertian dan
bentuk Issue Etik Dalam Pelayanan
Kebidanan
2. Issue
Etik yang terjadi Dalam Pelayanan
Kebidanan
3. Dilema dan
Konflik moral
Waktu
: Rabu , 15 Maret
2017
Sasaran : Tingkat I Semester II
Dosen : Fitria DN
OBJEK PRILAKU
SISWA
Setelah
perkuliah ini, diharapkan agar mahasiswa mampu :
1. Memahami Pengertian
dan bentuk Issue Etik Dalam Pelayanan
Kebidanan
2. Memahami Issue
Etik yang terjadi Dalam Pelayanan
Kebidanan
3. Memahami
Dilema dan Konflik moral
REFRENSI
1. Karlina Novvi,
dkk. 2015. “Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan “. In Media. Bogor
2. Puji
Wahyuningsih, Heni. 2008. Etika Profesi
Kebidanan. Fitramaya. Yogyakarta.
3.
Issue Etik
Dalam Pelayanan Kebidanan, Tersedia : https://keperawatanreligionnurulfatimah.wordpress.com/2013/05/06/pengertian-aborsi-dan-uu-yang-mengatur-mengenai-aborsi/.
4.
____________, tersedia : http://blog-adhaedelweiss.blogspot.co.id/2016/03/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html\ (di unduh 14 maret
2017)
5.
___________, Tersedia : http://www.dunia-android.net/2014/03/contoh-issue-etik-issue-moral-dilema.html di unduh 14 maret
2017)
6.
Issue Etik
Dalam Pelayanan Kebidanan , Tersedia :
https://putrihapsari87.wordpress.com/2014/10/22/issue-etik-dalam-pelayanan-kebidanan/ di unduh 14 maret
2017)
Uraian Materi
Issue
Etik Dalam Pelayanan Kebidanan
A.
Definisi Issue
Etik
Issue adalah
topik yang menarik untuk didiskusikan dan sesuatu yang memungkinkan setiap
orang mempunyai pendapat. Pendapat yang timbul akan bervariasi, isu muncul
dikarenakan perbedaan nilai-nilai dan kepercayaan.
Issue adalah
masalah pokok yang berkembang di suatu masyarakat atau suatu lingkungan
yang belum tentu benar, yang membutuhkan
pembuktian. Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan erat
dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah
dan apakah penyelesaiannya baik atau buruk (Jones, 1994).
Issue etik
adalah topik yang cukup penting untuk dibicarakan sehingga mayoritas
individu akan mengeluarkan opini terhadap masalah tersebut sesuai dengan asas
ataupun nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai benar salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
B. Bentuk
Etika
1.
Etika deskriptif, yang
memberikan gambaran dan ilustrasi tentang tingakh laku manusia ditinjau dari
nilai baik dan buruk serta hal-hai,mana yang boleh dilakukan sesuai dengan
norma etis yang dianut oleh masyarakat.
2.
Etika Normatif, membahas dan
mengkaji ukuran baik buruk tindakan manusia, yang biasanya dikelompokkan
menjadi:
·
Etika umum; yang membahas
berbagai hal yang berhubungan dengan kondisi manusia untuk bertindak etis dalam
mengambil kebijakan berdasarkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral.
·
Etika khusus; terdiri dari
Etika sosial, Etika individu dan Etika Terapan.
a.
Etika sosial menekankan
tanggungjawab sosial dan hubungan antarsesama manusia dalam aktivitasnya,
b.
Etika individu lebih
menekankan pada kewajiban-kewajiban manusia sebagai pribadi,
c.
Etika terapan adalah etika
yang diterapkan pada profesi
C.
Issue etik
yang terjadi di antara bidan
a) Issue
etik yang terjadi antara bidan dengan klien, keluarga, masyarakat
1. Issue etik yang terjadi antara
bidan dengan klien, keluarga dan masyarakat mempunyai hubungan erat dengan
nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan. Seorang bidan dikatakan
profesional bila ia mempunyai kekhususan sesuai dengan peran dan fungsinya yang
bertanggung jawab menolong persalinan. Dengan demikian penyimpangan etik
mungkin saja akan terjadi dalam praktek kebidanan misalnya dalam praktek
mandiri, bidan yang bekerja di RS, RB atau institusi kesehatan lainnya. Dalam
hal ini bidan yang praktek mandiri menjadi pekerja yang bebas mengontrol
dirinya sendiri. Situasi ini akan besar sekali pengaruhnya terhadap kemungkinan
terjadinya penyimpangan etik.
o
Kasus
Di sebuah desa, ada seorang bidan yang sudah membuka praktek kurang lebih selama satu tahun. Pada suatu hari datang seorang klien bernama Ny ‘A’ usia kehamilan 38 minggu dengan keluhan perutnya terasa kenceng kenceng dan terasa sakit sejak 5 jam yang lalu. Setelah dilakukan VT, didapatkan hasil pembukaan 3 dan ternyata janin dalam keadaan letak sungsang. Oleh karena itu bidan menyarankan agar di Rujuk ke Rumah Sakit untuk melahirkan secara operasi SC. Namun keluarga klien terutama suami menolak untuk di Rujuk dengan alasan tidak punya biaya untuk membayar operasi. Tapi bidan tersebut berusaha untuk memberi penjelasan bahwa tujuan di Rujuk demi keselamatan janin dan juga ibunya namun jika tetap tidak mau dirujuk akan sangat membahayakan janin maupun ibunya. Tapi keluarga bersikeras agar bidan mau menolong persalinan tersebut.
Di sebuah desa, ada seorang bidan yang sudah membuka praktek kurang lebih selama satu tahun. Pada suatu hari datang seorang klien bernama Ny ‘A’ usia kehamilan 38 minggu dengan keluhan perutnya terasa kenceng kenceng dan terasa sakit sejak 5 jam yang lalu. Setelah dilakukan VT, didapatkan hasil pembukaan 3 dan ternyata janin dalam keadaan letak sungsang. Oleh karena itu bidan menyarankan agar di Rujuk ke Rumah Sakit untuk melahirkan secara operasi SC. Namun keluarga klien terutama suami menolak untuk di Rujuk dengan alasan tidak punya biaya untuk membayar operasi. Tapi bidan tersebut berusaha untuk memberi penjelasan bahwa tujuan di Rujuk demi keselamatan janin dan juga ibunya namun jika tetap tidak mau dirujuk akan sangat membahayakan janin maupun ibunya. Tapi keluarga bersikeras agar bidan mau menolong persalinan tersebut.
Sebenarnya, dalam hal ini bidan
tidak yakin bisa berhasil menolong persalinan dengan keadaan letak sungsang
seperti ini karena pengalaman bidan dalam hal ini masih belum begitu mendalam.
Selain itu juga dengan di Rujuk agar persalinan berjalan dengan lancar dan
bukan kewenangan bidan untuk menolong persalinan dalam keadaan letak sungsang
seperti ini. Karena keluarga tetap memaksa, akhirnya bidan pun menuruti kemauan
klien serta keluarga untuk menolong persalinan tersebut. Persalinan berjalan
sangat lama karena kepala janin tidak bisa keluar. Setelah bayi lahir ternyata
bayi sudah meninggal. Dalam hal ini keluarga menyalahkan bidan bahwa bidan
tidak bisa bekerja secara profesional dan dalam masyarakatpun juga tersebar
bahwa bidan tersebut dalam melakukan tindakan sangat lambat dan tidak sesuai
prosedur.
1. KONFLIK
: keluarga
terutama suami menolak untuk di rujuk ke Rumah sakit dan
melahirkan secara operasi SC dengan alasan tidak punya biaya untuk
membayar operasi.
melahirkan secara operasi SC dengan alasan tidak punya biaya untuk
membayar operasi.
2. ISSU : Di mata masyarakat, bidan
tersebut dalam pelayanan atau melakukan
tindakan tidak sesuai prosedur dan tidak profesioanl. Selain itu juga
masyarakat menilai bahwa bidan tersebut dalam menangani pasien
dengan kelas ekonomi rendah sangat lambat atau membeda-bedakan antara pasien yang ekonomi atas dengan ekonomi rendah.
tindakan tidak sesuai prosedur dan tidak profesioanl. Selain itu juga
masyarakat menilai bahwa bidan tersebut dalam menangani pasien
dengan kelas ekonomi rendah sangat lambat atau membeda-bedakan antara pasien yang ekonomi atas dengan ekonomi rendah.
3. DILEMA :
Bidan merasa kesulitan untuk memutuskan tindakan yang tepat untuk
menolong persalinan Resiko Tinggi. Dalam hal ini letak sungsang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh bidan sendiri dengan keterbatasan alat dan kemampuan medis. Seharusnya ditolong oleh Dokter Obgyn, tetapi dalam hal ini diputuskan untuk menolong persalianan itu sendiri dengan alasan desakan dari kelurga klien sehingga dalam hatinya merasa kesulitan untuk memutuskan sesuai prosedur ataukah kenyataan di lapangan.
Bidan merasa kesulitan untuk memutuskan tindakan yang tepat untuk
menolong persalinan Resiko Tinggi. Dalam hal ini letak sungsang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh bidan sendiri dengan keterbatasan alat dan kemampuan medis. Seharusnya ditolong oleh Dokter Obgyn, tetapi dalam hal ini diputuskan untuk menolong persalianan itu sendiri dengan alasan desakan dari kelurga klien sehingga dalam hatinya merasa kesulitan untuk memutuskan sesuai prosedur ataukah kenyataan di lapangan.
o
Kasus 2
o
Disuatu desa , ada ditempatkan seorang bidan bernama
buk neneng , buk neneng ini terkenal sekali materialistis . Sampai-sampai
pelayanan yang di berikannya saja tergolong materialiastis . Suatu hari datang
pasien bernama liska untuk bersalin . Setelah persalinan selesai suami dari
Liska tidak bisa membayar semua uang persalinannya dengan lunas . Si bidan
tidak terima dengan hal tersebut dan terus mendesak untuk melunasinya dan
menceritakan kepada semua orang . Seharusnya sebagai seorang bidan janganlah
dinilai masyarakat sebagai sosok yang materialistis karena bidan menolong
persalinan itu berdasarkan hati nurani .
o
Kasus 2
:
o
Di sebuah desa, ada seorang bidan yang sudah membuka
praktek kurang lebih selama dua tahun. Pada suatu hari datang seorang klien
bernama Ny Ani usia kehamilan 38 minggu dengan keluhan perutnya terasa sakit
sejak 5 jam yang lalu. Setelah dilakukan pemeriksaan, didapatkan hasil
pembukaan 3 dan ternyata janin dalam keadaan letak sungsang. Oleh karena itu
bidan menyarankan agar di Rujuk ke Rumah Sakit untuk melahirkan secara operasi
SC. Namun keluarga klien terutama suami menolak untuk di Rujuk dengan alasan tidak
punya biaya untuk membayar operasi. Tapi bidan tersebut berusaha untuk memberi
penjelasan bahwa tujuan di Rujuk demi keselamatan janin dan juga ibunya namun
jika tetap tidak mau dirujuk akan sangat membahayakan janin maupun ibunya. Tapi
keluarga bersikeras agar bidan mau menolong persalinan tersebut. Sebenarnya,
dalam hal ini bidan tidak yakin bisa berhasil menolong persalinan dengan
keadaan letak sungsang seperti ini karena pengalaman bidan dalam hal ini masih
belum begitu mendalam. Selain itu juga dengan di Rujuk agar persalinan berjalan
dengan lancar dan bukan kewenangan bidan untuk menolong persalinan dalam
keadaan letak sungsang seperti ini. Karena keluarga tetap memaksa, akhirnya
bidan pun menuruti kemauan klien serta keluarga untuk menolong persalinan
tersebut. Persalinan berjalan sangat lama karena kepala janin tidak bisa
keluar. Setelah bayi lahir ternyata bayi sudah meninggal. Dalam hal ini
keluarga menyalahkan bidan bahwa bidan tidak bisa bekerja secara profesional
dan dalam masyarakatpun juga tersebar bahwa bidan tersebut dalam melakukan
tindakan sangat lambat dan tidak sesuai prosedur.
b)
Teman Sejawat
ISSUE ETIK adalah topic yang cukup penting
untuk dibicarakan sehingga mayoritas individu akan mengeluarkan opini terhadap
masalah tersebut sesuai dengan asas ataupun nilai yang berkenaan dengan akhlak,
niali benar salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
·
Kasus 1 :
·
Di suatu desa yang tidak jauh dari kota dimana di desa
tersebut ada dua orang bidan yaitu bidan “A” dan bidan “B” yang sama – sama
memiliki BPS dan ada persaingan di antara dua bidan tersebut.Pada suatu
hari datang seorang pasien yang akan melahirkan di BPS bidan “B” yang lokasinya
tidak jauh dengan BPS
bidan “A”. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata pembukaan masih belum lengkap
dan bidan “B” menemukan letak sungsang dan bidan tersebut tetap akan menolong
persalinan tersebut meskipun mengetahui bahwa hal tersebut melanggar wewenang
sebagai seorang bidan demi mendapatkan banyak pasien untuk bersaing dengan
bidan “A”.Sedangkan bidan “A” mengetahui hal tersebut. Jika bidan “B” tetap akan
menolong persalinan tersebut,bidan “A” akan melaporkan bidan “B” untuk
menjatuhkan bidan “B” karena di anggap melanggar wewenang profesi bidan.
1. ISSU MORAL:
seorang bidan melakukan pertolongan persalinan
normal.
2. KONFLIK MORAL:
menolong persalinan sungsang untuk nendapatkan
pasien demi persaingan atau dilaporkan oleh bidan “A”.
3. DILEMA MORAL:
1. Bidan “B” tidak melakukan pertolongan
persalinan sungsang tersebut namun bidan kehilangan satu pasien. 2. Bidan “B” menolong persalinan tersebut tapi akan dijatuhkan
oleh bidan “A” dengan di laporkan ke lembaga yang berwewenang
4. ETIK adalah kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai benar dan salah yang dianut
suatu organisasi atau masyarakat.
·
Kasus 2 :
Di suatu desa yang
tidak jauh dari kota dimana di desa tersebut ada dua orang bidan yaitu bidan
Yati dan bidan Liska yang sama – sama memiliki RB dan ada persaingan di antara
dua bidan tersebut.
Pada suatu hari datang
seorang pasien yang akan melahirkan di RB bidan Liska yang lokasinya tidak jauh
dengan RB bidan Yati . Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata pembukaan masih
belum lengkap dan menemukan letak sungsang dan bidan tersebut tetap akan
menolong persalinan tersebut meskipun mengetahui bahwa hal tersebut melanggar
wewenang sebagai seorang bidan demi mendapatkan banyak pasien untuk bersaing
dengan bidan Yati.Sedangkan bidan Yati mengetahui hal tersebut. Jika bidan
Liska tetap akan menolong persalinan tersebut,bidan Yati akan melaporkan bidan
Liska untuk menjatuhkan bidan Liska karena di anggap melanggar wewenang profesi
bidan.
c)
Team Kesehatan
lainnya
Pengertian Yaitu perbedaan sikap etika yang terjadi pada bidan
dengan tenaga medis lainnya. Sehingga menimbulkanketidak sepahaman atau
kerenggangan social.
·
Kasus
Disuatu desa yang ada sebuah BPS, suatu hari ada seorang Ibu berusia 35 Tahun keadaannya sudah lemah. bidan menanyakan kepada keluarga pasien apa yang terjadi pada pasien. Dan suami pasien menjawab ketika dirumah Px jatuh & terjad iperdarahan hebat. Setelahitu bidan memberikan pertolongan , memberikan infuse dst…. Bidan menjelaskan pada keluarga, agar istrinya di bawa ke rumah sakit untuk dilakukan curretase.Kemudian keluarga pxmenolak saran bidan tsb, dan meminta bidan yang melakukan currentase. selang waktu 2 hari pxmengalami perdarahan lagi kemudian keluarga merujuk ke RS.Dokter menanyakan kapeda suami px, apa yang sebenarnya terjadi dan suami px menjelaskan bahwa 3 hari yang lalu istrinya mengalami keguguran & di currentase bidan didesany. dokter mendatangi bidan terebut. Maka Terjadilah konflik antara bidan & dokter.
Disuatu desa yang ada sebuah BPS, suatu hari ada seorang Ibu berusia 35 Tahun keadaannya sudah lemah. bidan menanyakan kepada keluarga pasien apa yang terjadi pada pasien. Dan suami pasien menjawab ketika dirumah Px jatuh & terjad iperdarahan hebat. Setelahitu bidan memberikan pertolongan , memberikan infuse dst…. Bidan menjelaskan pada keluarga, agar istrinya di bawa ke rumah sakit untuk dilakukan curretase.Kemudian keluarga pxmenolak saran bidan tsb, dan meminta bidan yang melakukan currentase. selang waktu 2 hari pxmengalami perdarahan lagi kemudian keluarga merujuk ke RS.Dokter menanyakan kapeda suami px, apa yang sebenarnya terjadi dan suami px menjelaskan bahwa 3 hari yang lalu istrinya mengalami keguguran & di currentase bidan didesany. dokter mendatangi bidan terebut. Maka Terjadilah konflik antara bidan & dokter.
1. ISSUE ETIK :
Mall Praktek Bidan melakukan tindakan diluar
wewenangnya.
2. KONFLIK : bidan melakukan currentase diluar wewenangnya sehingga
terjadilah konflik antara bidan & dokter.
3. DILEMA :
jika tidak segera dilakukan tindakan takutnya
merenggut nyawa px karena BPS jauh dari RS. Dan jika dilakukan tindakan bidan
merasa melanggar kode etik kebidanan & merasa melakukan tindakan diluar
wewenangnya.
d)
Organisasi
profesi
Issue etik yang
terjadi antara bidan dan organisasi profesi adalah suatu topic masalahyang
menjadi bahan pembicaraan antara bidan dengan organisasi profesi karena
terjadinyasuatu hal-hal yangmenyimpang dari aturan-aturan yang telah
ditetapkan.
·
Kasus
·
Seorang ibu yang ingin bersalin di BPS pada bidan A sejak
awal kehamilan ibutersebut memang sudah sering memeriksakan kehamilannya.
Menurut hasil pemeriksaanbidan Ibu tersebut mempunyai riwayat hipertensi. Maka
kemungkinan lahir pervaginanyasangat beresiko Saat persalinan tiba. Tekanan
darah ibu menjadi tinggi. Jik atidak dirujuk maka beresiko terhadap janin dan
kondisi si Ibu itu sendiri. Resiko pada janin bisa terjadigawat janin dan
perdarahan pada ibu. Bidan A sudah mengerti resiko yang akan terjadi. Tapi ia
ebih memntingkan egonya sendiri karena takut kehilangan komisinya dari pada
dirujuk kermah sakit. Setelah janin lahir Ibu mengalami perdarahan hebat,
sehingga kejang-kejang danmeninggal. Saaat berita itu terdengar organisasi
profesi (IBI), maka IBI memberikan sanksiyang setimpal bahwa dari
kecerobohannya sudah merugikan orang lain. Sebagai gantinya,ijin praktek (BPS)
bidan A dicabut dan dikenakan denda sesuai dengan pelanggaran tersebut.
1. Issue etik
:
·
Terjadi malpraktek
·
Pelangaran wewenang
Bidan
2. Dilema etik
Warga yang mengetahui hal tersebut segera
melaporkan kepada organisasi profesi dan diberikan penangan.
D.
Issue etik
yang terjadi dalam pelayanan kebidanan
Pengertian Issue Isu
adalah masalah pokok yang berkembang di masyarakat atau suatu lingkungan yang
belum tentu benar, serta membutuhkan pembuktian.
Issue Etik Dalam Pelayanan Kebidanan. Etik merupakan bagian dari filosofi yang berhubungan
erat dengan nilai manusia dalm menghargai suatu tindakan, apakah benar atau
salah dan apakah pernyataan itu baik atau buruk. Issue etik dalam pelayanan
kebidanan merupakan opic yang penting yang berkembang di masyarakat tentang
nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan yang berhubungan dengan segala
aspek kebidanan yang menyangkut baik dan buruknya.
Beberapa pembahasan masalah etik dalm kehidupan sehari hari
adalah sebagai berikut:
1. Persetujuan dalam proses melahirkan.
·
Memilih atau mengambil keputusan dalam persalinan.
·
Kegagalan dalam proses persalinan.
·
Pelaksanan USG dalam kehamilan.
·
Konsep normal pelayanan kebidanan.
·
Bidan dan pendidikan seks.
2. Contoh masalah etik yang berhubungan dengan teknologi:
·
Perawatan intensif pada bayi.
·
Skreening bayi.
·
Transplantasi organ.
·
Teknik reproduksi dan kebidanan.
3. Contoh masalah etik yang berhubungan dengan profesi:
·
Pengambilan keputusan dan penggunaan etik.
·
Otonomi bidan dan kode etik profesional.
·
Etik dalam penelitian kebidanan.
·
Penelitian tentang masalah kebidanan yang sensitif.
4. Biasanyan beberapa contoh mengenai isu etik dalm pelayananan kebidanan
adalah berhubungan dengan masalah-masalah sebagai berikut:
·
Agama / kepercayaan.
·
Hubungan dengan pasien.
·
Hubungan dokter dengan bidan.
·
Kebenaran.
·
Pengambilan keputusan.
Bidan dituntut untuk berprilaku hati-hati dalm setiap
tindakannya dalam memberikan asuhan kebidanan dengan menampilkan perilaku yang
etis dan profesional.
E.
Dilema dan
Konflik moral
A.
Definisi
MORAL berasal dari bahasa latin ”MOS” kebiasaan adat,
”MORAL” etimologi dengan ”ETIK” keduanya mengandung arti adat
kebiasaan walaupun bahasa asalnya berbeda (”etik”= Yunani) (”moral”=
latin). Moral merupakan pengetahuan atau keyakian tentang
adanya hal yang baik dan buruk yang mempengaruhi sikap seseorang. Issue moral adalah merupakan topik yang penting berhubungan dengan
benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang
berhubungan dengan kehidupan orang sehari hari menyangkut kasus abortus,
euthanasia, keputusan untuk terminasi kehamilan.
Moral merupakan
pengetahuan atau keyakinan tentang adanya hal yang baik dan buruk yang
memengaruhi sikap seseorang. Kesadaran tntang adanya baik dan buruk berkembang
pada diri seseorang seiring dengan pengaruh lingkungan, pendidikan, sosial
budaya, agama dan lain-lain. Hal ini disebut kesadaran moral. Issue moral dalam
pelayanan kebidanan merupakan topik yang penting yang berhbungan dengan benar
dan salah dalam kehidupan sehari-hari dan yang ada kaitanya dengan pelayanan
kebidanan.
Isu moral
merupakan topik yang penting berhubungan dengan benar dan salah dalam kehidupan
sehari-hari, sebagai contoh nilai-nilai yang berhungan dengan kehidupan orang
sehari-hari menyangkut kasus abortus, euthanasia, keputusan untuk terminasi
kehamilan. Isu moral juga berhubungan dengan kejadian yang luar biasa dalam
kehidupan sehari-hari seperti menyangkut konflik, malpraktik, perang,
dsb.
Dilema moral
menurut Campbell adalah suatu keadaan dimana dihadapkan pada dua alternatif
pilihan yang kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan pemecahan
masalah.
Konflik moral
menurut Johnson adalah bahwa konflik atau dilema pada dasarnya sama,
kenyataanya konflik berada diantara prinsip moral dan tugas yang mana sering
menyebabkan dilema, ada dua tipe konflik, yang pertama konflik yang berhubungan
dengan prinsip dan yang kedua adalah konflik yang berhubungan dengan otonomi.
Dua tipe konflik ini adalah merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan.
Ketika mencari
solusi atau pemecahan masalah harus menginat akan tanggung jawab profesional
yaitu :
1.
Tindakan selalu ditujukan untuk peningkatan
kenyamanan, kesejahteraan pasien dan kline
2.
Menjamin bahwa tidak ada tindakan yang menghilangkan
sesuatu bagian ( omission), disertai rasa tanggung jawab, memperhatikan kondisi
dan keamanan pasien atau klien
Contoh studi
kasus dilema moral : “Seorang ibu primipara masuk kamar bersalin dalam
keadaan inpart. Sewaktu di lakukan anamnesa dia mengatakan tidak mau di
episiotomy. Ternyata selama kala dua kemajuannya berlangsung lambat, perineum
masih tebal dan kaku. Keadaan ini di jelaskan kepada ibu oleh bidan, tetapi ibu
tetap pada pendiriannya menolak di episiotomy. Sementara waktu berjalan terus
dan denyut jantung janin menunjukkan keadaan fetal distress dan hal ini
mengharuskan bidan untuk melakukan tindakan episiotomy, tetapi ibu tetap tidak
menyetujuinya. Bidan berharap bayinya selamat. Sementara itu ada bidan yang
memberitahukan bahwa dia pernah melakukan hal ini tanpa persetujuan pasien, di
lakukan karena untuk melindungi bayinya. Jika bidan melakukan
episiotomi tanpa persetujuan pasien, maka bidan akan di hadapkan oada
suatu tuntutan dari pasien. Sehingga inilah contoh gambaran dilema moral. Bila
bidan melakukan tindakan tanpa persetujuan pasien, bvagaimana di tinjau dari
segi etik dan moral. Bila tidak di lakukan tindakan, apa yang akan terjadi pada
bayinya?”
B. Pengertian
Konflik Moral
Menurut Taquiri
dalam Newstorem dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial
yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan
ketidak setujuan. Kontroversi dan pertentangan diantara dua pihak atau lebih
pihak secara berterusan. Menurut Gibson, et all (1997) hubungan selain dapat
menciptakan kerja sama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik, hal ini terjadi jika masing-masing kompenen organisasi meiliki
kepentingan atau tujuan sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Menurut robbin
(1996) keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu
atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi,
maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka
memersepsikan bahwa didalam organisasi telah ada konflik, maka konflik tersebut
telah menjadi kenyataan. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk
interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau
pada tingkatan organiasi (muchlas,1999). Konflik ini terutama pada tingkatan
individual yang sangat dekat hubunganya dengan stress. Menurut minnery (1985)
konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu
sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbadaan
persetujuan.
Ada dua tipe
konflik, dan dua tipe konflik ini merupakan dua bagian yang tidak bisa
dipisahkan :
a)
Konflik yang berhubungan dengan prinsip.
b)
Konflik yang berhubungan dengan otonomi.
Adapun penyebab konflik adalah sebagai berikut :
a)
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian
dan perasaan.
b)
Perbedaaan latar belakang kebudayaan, sehingga
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
c)
Berbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
d)
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak
dalam masyarakat.
Untuk mengatasi konflik moral adalah Setiap pihak (nakes dan klien)
harus menyadari hak dan kewajibannya serta mampu menempatkan dirinya dalam
porsi yang tepat.Upaya yang dapat mempertemukan kebutuhan kedua belah pihak
tanpa merugikan salah satu pihak adalah melalui komunikasi interpersonal atau
konseling (KIP/K) antara nakes dengan kliennya. Yang terwujud dalam informed choice dan informed
concent.
Contoh studi kasus mengenai konflik moral :
“Ada seorang
bidan yang berpraktik mandiri dirumah. Ada seorang pasien impartu datang
ketempat prakteknya. Status obstetri pasien adalah GG.Po.Ao. hasil pemeriksaan
penapisan awal menunjukan presentasi bokong dengan tafsiran
3900gram. Dengan kesejahteraan janin dan ibu baik. Maka bidan tersebut
menganjurkan dan memberi konseling pada pasien mengenai kasusnya dan
keluarganya menolak dirujuk dan bersikukuh untuk melahirkan dibidan tersebut
karena pertimbangan biaya dan kesulitan lainya.
Melihat kasus
ini maka bidan dihadapkan pada konflik moral yang bertentangan dengan prinsip
moral dan otonomi maupun kewenangan dalam pelayanan kebidanan. Bahwa sesuai
Kepmenkes Republik Indonesia 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan
praktik bidan, bidan tidak berwenang memberikan pertolongan persalinan pada
primigravida dengan presentasi bokong, disisi lain, ada prinsip nilai moral dan
kemanusiaan yang dihadapi pasien yaitu ketidakmampuan secara sosial ekonomi dan
kesulitan yang lain, maka bagaimana seorang bidan mengambil keputusan yang terbaik
terhadap konflik moral yang dihadapi dalam pelayanan kebidanan”.
Beberapa contoh issue moral dalam kehidupan
sehari-hari
a) aborsi
Menurut KUHP
·
Pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium
perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu)
·
Pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
diluar kandungan (berat kurang dari 500 gram atau kurang dari 20 minggu). Dari
segi medikolegal maka istilah abortus, keguguran, dan kelahiran prematur
mempunyai arti yang sama dan menunjukan pengeluaran janin sebelum usia
kehamilan yang cukup.
Menurut UU Kesehatan Nomor 23/1992 pasal 15
·
Disebutkan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya
untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan
medis tertentu. Maksud dari kalimat ‘tindakan medis tertentu’ salah
satunya adalah aborsi
·
Selain pengertian diatas disebutkan pula bahwa aborsi
atau pengguguran kandungan adalah terminasi (penghentian) kehamilan yang
disengaja (abortus provocatus). Yakni, kehamilan yang diprovokasi dengan
berbagai macam cara sehingga terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah
kehamilan berhebti karena factor-faktor alamiah (abortus spontaneous).
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1. Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan
disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
2. Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus Provocatus Criminalis adalah pengakhiran
kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu
maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
3. Aborsi terapeutik / Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran
kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu
yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit
jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang
dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak
tergesa-gesa.
Undang – undang yang mengatur mengenai aborsi
Dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 350 dinyatakan sebagai berikut :
·
Pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun”.
·
Pasal 347 : (1) Barang siapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.(2) Jika perbuatan
itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
·
Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja
menggunakan atau mematikan kandunga seorang wanita dengan persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.(2) Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
·
Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukankejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan
salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam
pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga dandapat dicabut hak untuk
menjalankan pencaharian dalam manakejahatan dilakukan”.
Legalitas Aborsi dalam Kondisi Khusus menurut Undang-Undang
Abortus buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam
dua golongan yakni :
1. Abortus buatan legal (Abortus provocatus therapcutius) Yaitu pengguguran
kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh
undang-undang, karena alasan yang sangat mendasar untuk melakukannya:
menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si ibu.
2. Abortus buatan ilegal Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain
untuk menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak
kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh
undang-undang.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran
kandungan yang disengaja digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa (Bab XIX
pasal 346 s/d 249). Namun dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
kesehatan pada pasal 15ayat (1) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat sebagai
upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan
tindakan medis tertentu. Kemudian pada ayat (2) menyebutkan tindakan medis
tertentu dapat dilakukan :
1.
Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan
diambilnya tindakan tersebut
2.
Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kemampuan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta
pertimbangan tim ahli
3.
Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan serta
suami dan keluarga
·
Lalu dalam UU No. 1 tahun 1946 tentang KUHP, UU no. 7
thn. 1984 dan UU no 3 thn.1992 aborsi
tidak boleh dilakukan kecuali dalam kondisi tertentu.
Dilakukannya Tindakan Abortus Provokatus / Kriminalis Komplikasi Medis
yang Dapat Timbul Pada Ibu:
1. Perforasi
Dalam . Melakukan kerokan harus diingat bahwa selalu ada
kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke rongga
peritoneum, ke ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab itu letak
uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal tindakan, dan
pada dilatasi serviks jangan digunakan tekanan berlebihan. Pada kerokan kuret
dimasukkan dengan hati-hati, akan tetapi penarikan kuret ke luar dapat
dilakukan dengan tekanan yang lebih besar. Bahaya perforasi ialah perdarahan
dan peritonitis. Apabila terjadi perforasi atau diduga terjadi peristiwa itu,
penderita harus diawasi dengan seksama dengan mengamati keadaan umum, nadi,
tekanan darah, kenaikan suhu, turunnya hemoglobin, dan keadaan perut bawah.
Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya dilakukan
laparatomi percobaan dengan segera.
2. Luka
pada serviks uteri. Apabila jaringan serviks kerasdan dilatasi
dipaksakan maka dapat timbul sobekan pada serviks uteri yang perlu dijahit.
Apabila terjadi luka pada ostium uteri internum, maka akibat yang segera timbul
ialah perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon pada serviks dan vagina. Akibat
jangka panjang ialah kemungkinan timbulnya incompetent cerviks.
3. Pelekatan
pada kavum uteri. Melakukan kerokan secara sempurna memerlukan
pengalaman. Sisa-sisa hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan
miometrium jangan sampai terkerok, karena hal itu dapat mengakibatkan
terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di beberapa tempat. Sebaiknya kerokan
dihentikan pada suatu tempat apabila pada suatu tempat tersebut dirasakan bahwa
jaringan tidak begitu lembut lagi.
4. Perdarahan. Kerokan
pada kehamilan agak tua atau pada mola hidatidosa ada bahaya perdarahan. Oleh
sebab itu, jika perlu hendaknya diselenggarakan transfusi darah dan sesudah
kerokan selesai dimasukkan tampon kasa ke dalam uterus dan vagina.
5. Infeksi. Apabila
syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka bahaya infeksi sangat
besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat menyebar ke seluruh peredaran
darah, sehingga menyebabkan kematian. Bahaya lain yang ditimbulkan abortus
kriminalis antara lain infeksi pada saluran telur. Akibatnya, sangat mungkin
tidak bisa terjadi kehamilan lagi.
6. Lain-lain. Komplikasi
yang dapat timbul dengan segera pada pemberian NaCl hipertonik adalah apabila
larutan garam masuk ke dalam rongga peritoneum atau ke dalam pembuluh darah dan
menimbulkan gejala-gejala konvulsi, penghentian kerja jantung, penghentian
pernapasan, atau hipofibrinogenemia. Sedangkan komplikasi yang dapat
ditimbulakan pada pemberian prostaglandin antara lain panas, enek, muntah dan
diare.
Komplikasi yang Dapat Timbul Pada Janin:
Sesuai dengan tujuan dari abortus itu sendiri yaitu
ingin mengakhiri kehamilan, maka nasib janin pada kasus abortus provokatus
kriminalis sebagian besar meninggal. Kalaupun bisa hidup, itu berarti tindakan
abortus gagal dilakukan dan janin kemungkinan besar mengalami cacat fisik. Secara
garis besar tindakan abortus sangat berbahaya bagi ibu dan juga janin yaitu
bisa menyebabkan kematian pada keduanya.
b) Euthanasia
Bidang medis membagi proses kematian
ke dalam tiga cara yaitu : pertama, Orthothansia ialah proses kematian yang
terjadi karena proses ilmiah atau secara wajar, seperti proses ketuaan,
penyakit dan sebagainya. Kedua, dysthanasia ialah proses kematian yang terjadi
secara tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh diri dan lain-lain. Ketiga,
euthanasia ialah proses kematian yang terjadi karena pertolongan dokter.
Euthanasia atau jenis kematian ketiga
yang disebutkan diatas merupakan jenis kematian yang hingga saat ini
menimbulkan dilema bagi para petugas medis khususnya dokter karena belum adanya
ketetapan hukum. Karena tidak jarang pasien yang menderita penyakit parah dan
sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh menginginkan dokter melakukan
euthanasia terhadap dirinya atau pasien yang tidak sadarkan diri selama
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga keluarganya tidak tega melihat
penderitaan yang dialami oleh pasien tersebut sehingga keluarga meminta kepada
dokter untuk melakukan tindakan euthanasia. Baik itu dengan cara menghentikan
pengobatan, memberikan obat dengan dosis yang berlebihan (over dosis), dan
dengan berbagai macam cara lainnya.
Unsur-unsur euthanasia dilihat dari
beberapa definisi di atas, antara lain :
1)
Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2)
Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak
memperpanjang hidup pasien.
3)
Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan
kembali.
4)
Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
5)
Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai dari mana sudut pandangnya atau
cara melihatnya.
a.
Euthanasia
dilihat dari cara dilaksanakannya
Berdasarkan cara pelaksanaannya, Euthanasia dapat dibedakan
menjadi :
1)
Euthanasia
pasif
Euthanasia pasif adalah menghentikan
atau mencabut segala tindakan pengobatan yang sedang berlangsung untuk
mempertahankan hidupnya. Menurut kamus hukum, Euthanasia pasif adalah pihak
dokter menghentikan segala obat yang diberikan kepada pasien, kecuali obat
untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atas permintaan pasien.
Berdasarkan kedua pengertian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa Euthanasia pasif adalah tindakan mempercepat
kematian pasien dengan cara menolak memberikan pertolongan seperti menghentikan
atau mencabut segala pengobatan yang menunjang hidup si pasien.
Hal ini sudah jelas, karena seorang
pasien yang sedang menjalani perawatan pastilah didukung oleh obat-obatan
sebagai salah satu tindakan medis yang dilakukan oleh petugas medis atau dokter
demi kesembuhan pasien. Apabila petugas medis/dokter membiarkan pasien
meninggal atau pasien menolak untuk diberikan pertolongan oleh dokter dengan
cara menghentikan pemberian obat-obatan bagi pasien, misalnya seperti
memberhentikan alat bantu pernapasan (alat respirator) maka secara otomatis
pasien meninggal. Cara yang dilakukan oleh dokter tersebut merupakan euthanasia
pasif.
2)
Euthanasia
aktif
Euthanasia
aktif adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara medis melalui
intervensi atau tindakan aktif oleh seorang petugas medis (dokter), bertujuan
untuk mengakhiri hidup pasien. Dengan kata lain, Euthanasia aktif sengaja
dilakukan untuk membuat pasien yang bersangkutan meninggal, baik dengan cara
memberikan obat bertakaran tinggi (over dosis) atau menyuntikkan obat dengan
dosis atau cara lain yang dapat mengakibatkan kematian. Euthanasia dibagi lagi
menjadi euthanasia aktif langsung (direct) dan euthanasia aktif tidak langsung
(indirect). Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara
terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau memperpendek
hidup pasien. Jenis euthanasia ini biasa disebut mercy killing. Contohnya,
dokter memberikan suntikan zat yang dapat segera mematikan pasien.
Euthanasia
aktif tidak langsung adalah keadaan dimana dokter atau tenaga medis melakukan
tindakan medik tidak secara langsung untuk mengakhiri hidup pasien, namun
mengetahui adanya resiko yang dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Contohnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
b.
Ditinjau dari
permintaan
Bagi pasien
yang harapannya untuk sembuh sangat kecil biasanya mengajukan permintaan kepada
petugas medis untuk mengakhiri hidupnya agar pasien tersebut tidak mengalami
penderitaan yang berkepanjangan. Berdasarkan hal tersebut, maka Euthanasia
dapat dibedakan menjadi :
1)
Euthanasia voluntir
Euthanasia
voluntir adalah euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis berdasarkan
permintaan dari pasien sendiri. Permintaan ini dilakukan oleh pasien dalam
kondisi sadar dan berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun. Dengan kata
lain, pasien menginginkan dilakukannya euthanasia secara sukarela karena
berdasarkan permintaannya sendiri dan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
2)
Euthanasia involuntir
Euthanasia involuntir
ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang sudah tidak sadar. Biasanya
permintaan untuk dilakukannya euthanasia ini berasal dari pihak ketiga yaitu
keluarga pasien dengan berbagai alasan, antara lain : biaya perawatan yang
mahal sehingga tidak bisa ditanggung lagi oleh keluarga pasien, kasihan
terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan lainnya. Menurut Leenen,
seperti dikutip oleh Chrisdiono, terdapat beberapa kasus yang disebut pseudo-euthanasia
atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan pada larangan hukum
pidana. Empat pseudo-euthanasia menurut Leneen adalah :
·
Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak.
Jantung masih berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi
tidak ada kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat
kecelakaan berat.
·
Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.
·
Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa
tidak terlawan (force majure).
·
Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui
tidak ada gunanya.
c.
Euthanasia Menurut Ajaran Agama
1.
Dalam ajaran gereja
Katolik Roma
Sejak
pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman
sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan
sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan
mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi
saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama
menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman.
Pada tanggal 5
Mei tahun 1980, kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi
tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang
menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya
kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia
sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang
prihatin dengan semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil
Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar
melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana
jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban
yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia
merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu:
"Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan
sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat
kita tanggung"
2.
Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan
agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma,
moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekuensi murni dari semua
jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau
bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus
dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa"
yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan
utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah
merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun
juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu
dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu faktor yang
mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma"
buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga
untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan
kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya
tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana
sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan.
3.
Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama
Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk
melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam
ajaran Buddha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa
euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran
agama Buddha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Buddha sangat menekankan
pada "welas asih" ("karuna"). Mempercepat kematian
seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah
utama ajaran Buddha yang dengan demikian dapat menjadi "karma"
negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna
memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
4.
Dalam ajaran Islam
Dalam Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22 : 66; 2 : 243). Oleh karena itu, bunuh
diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun
Hadits yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah
ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau
membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim
(dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan
membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia
dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia),
yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si
sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang
kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan
yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas
kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga. Euthanasia aktif menurut agama islam biasa
disebut dengan taisir al-maut al-fa'al. Yang dimaksud taisir al-maut
al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit
karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen
(alat). Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah
tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter
melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat
kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan
yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan
demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan
penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan
penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut
kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan
yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya. Eutanasia pasif disebut dengan taisir
al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia pasif tidak dipergunakan alat-alat atau
langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya
dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit. Di antara masalah yang sudah terkenal di
kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak
wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan
menurut mereka mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah.
5.
Dalam ajaran agama Kristen Protestan
Gereja
Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia.
Beberapa
pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
·
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku
ajarannya menyatakan bahwa : "penggunaan teknologi kedokteran untuk
memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat
dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan
tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah
batas akhir kesempatan hidup tersebut".
·
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan
hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan
fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan
memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan
dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu
posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka
percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke
kehidupan yang lebih baik. Pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu
pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia
perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani
dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut
"kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup
dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan
pemberian tersebut.7
6.
Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran
Bartens
menjelaskan etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ethos” dalam
bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik.
Bentuk jamak dari ethos adalah “ta etha” artinya adat kebiasaan.
Lebih lanjut, Poerwadarminta menyimpulkan bahwa : etika adalah sama dengan
akhlak, yaitu pemahaman tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta
pemahaman tentang hak dan kewajiban orang. Etika sebagai kajian ilmu membahas
tentang moralitas atau tentang manusia terkait dengan perilakunya terhadap
makhluk lain dan sesama manusia. James J. Spillane SJ1mengungkapkan bahwa etika
atau ethic memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia
dalam pengambilan keputusan moral. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa etika merupakan suatu aturan yang mengatur tingkah
laku dalam bermasyarakat sehingga bisa menmbedakan apa yang baik dan apa yang
buruk serta mana yang hak dan mana kewajiban.
Secara garis
besar etika dikelompokkan menjadi dua, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika
umum merupakan aturan bertindak secara umum dalam kelompok masyarakat tertentu.
Etika khusus, yang selanjutnya berkembang menjadi etika profesi adalah aturan
bertindak pada kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat khusus, yakni
kelompok profesi. Tujuan dari etika profesi ini adalah agar tidak terjadi
penyimpangan dalam menjalankan profesi. Oleh karena itu, etika profesi ini
harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap orang yang menjalankan profesi tertentu,
misalnya seorang dokter yang harus tunduk dan taat pada Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI).
Segala
tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan keahliannya
yang diperoleh dari pendidikan kedokteran yang telah ditempuhnya serta
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kode
Etik Kedokteran, yaitu “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.” Standar profesi
tertinggi yang dimaksud adalah melakukan profesi sesuai dengan ilmu pengetahuan
kedokteran yang mutakhir atau sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran,
etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. Pendidikan kedokteran mutakhir
yang dimaksud di atas adalah sesuai dengan Pasal 28 ayat 21 (1) Undang-Undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu “setiap dokter atau
dokter gigi yang berpraktek wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran
atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi
dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka
penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau
kedokteran gigi.”
Selain itu,
dalam Kode Etik Kedokteran yaitu pada Pasal 7c bahwa “seorang dokter harus
menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan
lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.” Hak pasien yang dimaksud pada
Pasal tersebut salah satunya adalah hak untuk hidup dan hak atas tubuhnya
sendiri. Maka berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan
pasien yang ingin dieutahanasia sebab pasien tersebut berhak atas hidup dan
tubuhnya sendiri. Tetapi pada Pasal 7d menyatakan bahwa “setiap dokter harus
senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup insani.” Artinya, dalam
tindakan medis yang dilakukan oleh dokter bertujuan untuk memelihara kesehatan
dan mempertahankan hidup pasien. Sehingga dokter tidak boleh melakukan tindakan
yang tidak memelihara atau mempertahankan hidup pasien salah satunya adalah
Euthanasia.
Terjadi
ketidakharmonisan antara Pasal 7c dengan Pasal 7d Kode Etik Kedokteran
Indonesia apabila dikaitkan dengan Euthanasia, yaitu berdasarkan Pasal 7c
seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien untuk dilakukan Euthanasia
sesuai dengan hak pasien atas hidup dan tubuhnya sendiri. Menurut Pasal 7d
seorang dokter harus memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup seorang
pasien.
Menurut
Frans13, beberapa tantangan etika kedokteran meliputi : penetapan norma-norma
etika kedokteran, otonomi pasien, janin manusia dan euthanasia. Mengenai kasus
euthanasia, sampai saat ini masih menimbulkan dilema antara etika kedokteran
dan problem hidup yang sangat sulit diselesaikan. Selain Kode Etik Kedokteran
Indonesia landasan etika kedokteran yang lain yaitu Sumpah Hipocrates (460-377
SM), Deklarasi Geneva (1948) mengenai lafal sumpah dokter, International Code
of Medical Ethics (1949), Lafal Sumpah Dokter Indonesia (1960), Deklarasi
Helsinki (1964) mengenai riset klinik, Deklarasi Sydney (1968) mengenai saat
kematian, Deklarasi Oslo (1970) mengenai pengguguran kandungan atas indikasi
medik dan Deklarasi Tokyo (1975) mengenai penyiksaan.
Berkaitan
dengan kasus euthanasia maka pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaannya
adalah dokter. Tanggung jawab tersebut didasarkan pada implikasi yuridis
terjadinya kesalahan atau kelalaian dalam perawatan atau pelayanan pasien.
Kesalahan dokter timbul sebagai akibat terjadinya tindakan yang tidak sesuai,
atau tidak memenuhi prosedur medis yang seharusnya dilakukan, yang dapat
terjadi karena faktor kesengajaan atau kelalaian dari seorang dokter.15 Menurut
C. Berkhouwer dan L. D. Vorstman, suatu kesalahan dalam melakukan profesi bisa
terjadi karena adanya tiga faktor, yaitu :
1)
Kurangnya pengetahuan.
2)
Kurangnya pengalaman.
3)
Kurangnya pengertian.
Tanggung jawab
dokter dari sudut hukum meliputi tanggung jawab hukum pidana, hukum perdata dan
hukum administrasi. Tanggung jawab hukum pidana apabila terjadi kesalahan atau
kelalaian dalam menjalankan tugas maka dokter harus bertanggung jawab. Tanggung
jawab hukum perdata bersumber pada 2 dasar, yaitu : Pertama, berdasarkan pada
wanprestasi (contractual liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 1239
KUHPerdata; Kedua, berdasarkan perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad)
sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Tanggung jawab hukum
administrasi yaitu apabila tindakan dokter atau tenaga medis lain mengakibatkan
timbulnya kerugian bagi pasien.
c) Adopsi atau
pengangkatan anak
Dalam kamus
umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang
diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.22Menurut
Ensiklopedia Umum, anak angkat adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan
antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Hilman
Hadikusuma, anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri
oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat. Dari segi etimologi
yaitu asal usul kata pengangkatan anak berasal dari bahasa Belanda “Adoptie”
atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak.
Dalam bahasa arab disebut “Tabanni” yang menurut prof.
Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus
Munjid diartikan “menjadikannya sebagai anak”. Pengertian dalam bahasa Belanda
menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak
kandungnya sendiri.
A.
Tujuan Adopsi atau pengangkatan anak
Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan keturunan
apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. 30 Motivasi ini
sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak bisa
mendapatkan keturunan/tidak mungkin melahirkan anak dengan berbagai macam
sebab, seperti mandul pada umumnya.
Padahal mereka
sangat mendambakan kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarga mereka.
Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129, pengangkatan anak dilakukan dengan alasan
apabila seorang laki-laki yang kawin atau telah pernah kawin, tidak mempunyai
keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-laki, baik karena pertalian
darah maupun karena pengangkatan. Menurut Staatblad ini, pengangkatan anak
dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak mendapatkan keturunan/anak
laki-laki.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, secara tegas menyatakan bahwa
tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.31Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang
sifatnya memang sangat tergantung dari orangtuanya
Praktek
pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial untuk
pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya
sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut
disia-siakan atau diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan
hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu pengangkatan anak harus
dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlindungan
sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat.
Berdasarkan
sumber-sumber yang ada, dalam hal ini terdapat beberapa alternatif yang
digunakan sebagai dasar dilaksanakannya suatu pengangkatan anak. Dilihat dari
sisi adoptant, karena adanya alasan:
·
Keinginan untuk mempunyai anak atau keturunan.
·
Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau
anaknya.
·
Keinginan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak
orang lain yang membutuhkan.
·
Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk
melakukan suatu pengangkatan anak.
·
Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak
untuk kepentingan pihak tertentu.
Tujuan
pengangkatan anak di Indonesia jika ditinjau dari segi hukum adat berdasarkan
penjelasan dan sumber literatur yang ada, terbagi atas beberapa macam alasan
dilakukan pengangkatan anak, yaitu:
·
Karena tidak mempunyai anak.
·
Karena belas kasihan terhadap anak tersebut disebabkan
orangtua si anak tidak mampu memberi nafkah kepadanya.
·
Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak
mempunyai orangtua (yatim piatu).
·
Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk bisa
mempunyai anak kandung. Dengan maksud agar si anak yang diangkat mendapat
pendidikan yang baik, motivasi ini juga erat hubungannya dengan misi
kemanusiaan. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris (regenerasi)
bagi yang tidak mempunyai anak. Diharapkan anak angkat dapat menolong dihari
tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. Ada juga rasa
belas kasihan terhadap nasib si anak seperti tidak terurus. Karena si anak
sering penyakitan atau selalu meningggal, maka untuk menyelamatkan si anak
diberikanlah anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum atau
tidak mempunyai anak dengan harapan agar si anak yang bersangkutan akan selalu
sehat dan panjang umur.
Dengan
demikian pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan yang bernilai positif
dalam masyarakat hukum adat kita dengan berbagai motivasi yang ada, sesuai
dengan keanekaragaman masyarakat dan bentuk kekeluargaan di Indonesia
Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan
Di Indonesia
pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anak, untuk itu pemerintah
mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak yaitu dengan
disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang
mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan,
pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak. Kemudian dapat di lihat pengertian
pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.54 tahun
2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak yaitu suatu perbuatan hukum yang
mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah
atau orang lain yang bertangguang jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orangtua angkat.
Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No 6 Tahun 1983 tentang pengangkatan
anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang
memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan
atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak
menikah atau tidak terikat dalam perkawinan
Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat
berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang
perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang
asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan
sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada
hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang
mengangkat itu memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak
keturunannya sendiri.
Pengadilan dalam praktek telah
merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan orangtua
sebagai berikut:
o
Hubungan
darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak
dengan orangtua kandung.
o
Hubungan
waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan
mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat
waris dari orangtua angkat.
o
Hubungan
perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan
orangtua kandung dan beralih kepada orangtua angkat. Beralihnya ini, baru
dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban
orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat.
o
Hubungan
marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga,
gelar dari orangtua kandung, melainkan dari orangtua angkat.
d) Transplantasi
Ada beberapa pengertian tentang
transplantasi organ, di antaranya yaitu:
·
Dalam dunia kedokteran pencangkokan
atau transplantasi diartikan sebagai pemindahan jaringan atau organ dari tempat
yang satu ketempat lainnya. Hal ini bisa terjadi dalam satu individu atau dua
individu.
·
Transplantasi adalah pemindahan suatu
jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat lain pada tubuhnya
sendiri atautubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu.2
·
Dalam Kamus Kedokteran DORLAND
dijelaskan bahwa transplantasi berasal dari transplantation (trans +
L.plantare menanam) berarti penanaman jaringan yang diambil dari tubuh yang
sama atau dari individu lain. Adapun trasplant berarti:
1.
Menstransfer jaringan dari satu bagian
ke Bagian lain.
2. Organ atau jaringan yang diambil dari badan untuk ditanam di
daerah lain pada badan yang sama atau ke individu lain.
Terdapat dua hal penting yang mendasari
transplantasi, yaitu eksplantasi dan implantasi. Eksplantasi adalah usaha
mengeluarkanatau mengambil jaringan atau organ dari donor yang masih hidup ataupun
yang sudah meninggal. Sedangkan implantasi adalah usaha penempatan organ atau
jaringan atau jaringan yang telah yang telah di ambil dari tubuh donor untuk
ditempatkan pada tubuh pendonor itu sendiri atau ditempatkan pada tubuh resipient
lain
A. Macam-macam transplantasi organ tubuh
Jika dilihat dari sudut penerima organ, maka transplantasi dibedakan
menjadi:
1.
Autotransplantasi
yaitu pemindahan organ atau jaringan pada tempat yang lain dari tubuh orang itu
sendiri. Seperti seorang yang pipinya dioperasi untuk memulihkan bentuk,
diambilkan daging dari badannya yang lain dari badannya sendiri.
2.
Homotransplantasi
yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari tubuh yang satu ketubuh yang
lain. Atau dari individu ke individu lain yang sama jenisnya. Maksudnya manusia
untuk manusia hewan untuk hewan.
3.
Heterotransplantasi
yaitu pemindahan organ tubuh atau jaringan dari dua jenis individu yang
berbeda, misalnya dari hewan ke tubuh manusia.
Sedangkan jika dilihat dari jenis
transplantasi itu sendiri dibedakan menjadi dua:
1.
Transplantasi
jaringan, seperti pencangkokan cornea mata dan menambal bibir
sumbing.Transplantasi jaringan ini jika tidak dilakukan tidak membahayakan kelangsungan
hidup penderita, tujuannya hanyalah menyempurnakan kekurangan yang ada.
2.
Transplantasi
organ, seperti jantung, hati, dan ginjal. Transplantasi ini dilakukan untuk
melangsungkan hidup penderita, karena jika tidak dilakukan transplantasi maka
akan membahayakan kelangsungan hidup penderita.
B. Tujuan transplantasi organ tubuh
Transplantasi merupakan cara atau upaya
medis untuk menggantikan organ atau jaringan yang rusak, atau tidak berfungsi dengan
baik. Pada dasarnya transplantasi bertujuan sebagai usaha
terakhir pengobatan bagi orang yang bersangkutan, setelah
usaha pengobatan yang lainnya mengalami kegagalan. Sementara itu menurut Sa’ad
pada dasrnya transplantasi bertujuan untuk:
1. Kesembuhan dari suatu penyakit, misalnya kebutaan, kerusakan
jantung, ginjal dan sebagainya.
2. Pemulihan kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang
telah rusak, atau mengalami kelainan tetapi sama sekali tidak terjadi kesakitan
biologis, misalnya bibir sumbing.
3. Mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
C. Dasar hukum transplantasi organ tubuh
Mengenai Peraturan Pemerintah No. 18
Tahun 1981 dapat ditafsirkan, Transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia
dilakukan dengan memperhtikan ketentuan-katentuan sebagai berikut:
a. Penderita sendiri yang diberikan sebelum ia meninggal dunia tanpa
sepengetahuan keluarganya yang terdekat, dan keluarganya yang terdekat ikut
menyetujui pula. Yang dimaksud dengan keluarganya terdekat ialah istri, suami,
ibu, bapak atau saudara seibu-sebapak (sekandung) dari penderita dan saudara
ibu, saudara bapak serta anak yang telah dewasa dari penderita
b. Keluarganya yang terdekat dengan pertimbangan untuk kepentingan
ilmu kedokteran, sehingga dapat diketahui sebab kematian penderita yang
bersangkutan
e)
Bayi tabung
Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan
sel telur diluar tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil
tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga
dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa.Status bayi
tabung ada 3 macam :
1.
Inseminasi buatan dengan sperma suami.
2.
Inseminasi buatan dengan sperma donor.
3.
Inseminasi bautan dengan model titipan.
Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui secara
legal. Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga, untuk
menghindarkan masalah dikemudian hari. Terkait dengan proses bayi tabung, pada
tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwanya. Pada
intinya, para ulama menyatakan bahwa bayi tabung diperbolehkan selama sperma
yang didonorkan berasal dari suami yang sah dari si perempuan yang rahimnya
hendak digunakan dalam proses bayi tabung.
Hal itu karena memanfaatkan teknologi bayi tabung merupakan hak bagi
pasangan yang berikhtiar untuk memperoleh keturunan. Namun, jika sperma dan
rahim yang digunakan bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, maka hal
itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar
pernikahan yang sah. Dengan kata lain, bisa terjadi rahim seorang perempuan
dipinjamkan untuk proses bayi tabung dari embrio seorang lelaki yang bukan
suaminya. Nah, hal itu sama saja dengan perzinaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar